Oleh: Yandi
(Ketua PCM Ciawi-Tasikmalaya)
TASIKMU.COM–Berpulangnya orang yang dicintai sudah tentu menimbulkan duka mendalam, kesedihan sekaligus kehilangan bagi keluarga, kerabat dan sahabat. Begitu pula yang dirasakan oleh keluarga besar Muhammadiyah dan para aktivis khususnya di PCM Leuwisari.
Kabar kepergian Sekretaris PCM Leuwisari, H. Dadang Safarudin untuk selama-lamanya terasa sangat mengagetkan, karena begitu tiba-tiba. Sehari sebelumnya almarhum masih chattingan dengan penulis di grup PCM. Dan selama ini beliau baik-baik saja tidak pernah terdengar sakit atau ada gangguan tentang kesehatannya.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis berbagi memoar singkat tentang almarhum. Meskipun sebenarnya penulis tidak mengenal beliau secara pribadi dari dekat. Interaksi sejauh ini hanya sebagai sesama kader yang sering bertemu di berbagai acara Muhammadiyah. Masih terkenang pertama kali berkenalan dengan almarhum yaitu ketika Musywil PWM Jabar di Cirebon tahun 2023 lalu. Sejak itu kedekatan dengan beliau sebagai aktivis berlanjut seiring pertemuan di berbagai acara PDM maupun AUM.
Dari informasi yang penulis peroleh rekam jejak kemuhammadiyahan beliau sebagai kader dirintis dari bawah, aktivis from the scratch. Mulai dari IPM lalu aktif di PD Pemuda Muhammadiyah sebagai Sekretaris. Dan ketika PDM Kabupaten Tasikmalaya terbentuk pasca pemekaran, beliau termasuk salah seorang pleno PDM Kab. Tasikmalaya selaku Wakil Sekretaris.
Dalam pandangan penulis, beliau sebagai kader komitmennya kepada Persyarikatan tidak perlu diragukan. Seorang sahabat masa kecilnya memberikan testimoni kepada penulis bahwa beliau adalah kader “biologis” Muhammadiyah. Terlahir dari keluarga aktivis Muhammadiyah sebagai bungsu dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang ustadz di Muhammadiyah bernama –almarhum– Ustadz Farhan dan kakak tertuanya bunda Idah Siti Faridah kini menjabat sebagai Wakil Ketua PD Aisyiyah Kabupaten Tasikmalaya.
Selain sebagai Sekretaris PCM beliau juga diberi amanah sebagai Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah Rawa dan guru di SMP Plus Qurrata A’yun yang merupakan AUM pendidikan PCM Leuwisari. Penulis tidak menyangka persahabatan yang terjalin sebagai kader dengan almarhum berlangsung singkat, hanya beberapa tahun saja. Namun dari durasi yang singkat itu penulis mengenal beliau sebagai pribadi yang menyenangkan, low profile dan humble serta memiliki selera humor.
Pernah dalam sebuah acara penulis duduk di barisan belakang dan beliau di depan. Tiba-tiba beliau “ngejapri” sambil kirim fofo makanan sebagai iming-iming agar penulis pindah ke sampingnya, ternyata setelah dihampiri makanan tersebut tidak ada.
Dalam kesempatan lain diantara jeda “ishoma” acara PDM, almarhum pernah menanyakan asal usul penulis yang dikiranya orang Madura, karena gaya bicara dan logatnya agak berbeda, yang tentu saja itu penulis bantah.
Acara perayaan Milad Muhammadiyah ke-112 di PCM Leuwisari menjadi momen terakhir pertemuan dengan beliau. Penulis yang telah lama ingin tahu seperti apa profil PCM Leuwisari akhirnya mendapatkan momentum untuk berkunjung.
Ketika penulis tiba langsung diajak ke ruang guru, kami ngobol sambil minum kopi dan menikmati makanan ringan yang disuguhkan. Setelah basa- basi sebagai mukadimah obrolan, beliau “curhat” tentang adanya sekolah baru dalam tiga tahun belakang ini yang menjadi kompetitor sekolah Muhammadiyah. Dan ini berpengaruh pada jumlah siswa baru yang mendaftar.
Mendengar “kegalauan” almarhum sontak memunculkan ghirah kemuhammadiyahan penulis. Lalu sebagai bentuk “sharing and caring” penulis menyarankan agar ada “tajdid” atau inovasi baru dalam hal manajerial atau tata kelola sekolah.
Di tengah arus perubahan zaman yang cepat fenomena ini bukan persoalan Leuwisari semata. Di berbagai tempat dimana sekolah Muhammadiyah menjadi favorit dan unggulan kini menjadi sekolah biasa sebagai akibat dari adanya kompetisi dengan sekolah lain. Untuk itu lanjut penulis, penting untuk menyimak pesan Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang menyatakan, “Jika Muhammadiyah terlena berada di zona nyaman (comfort zone) dan tidak beradaptasi dengan melakukan inovasi dan terobosan baru maka Muhammadiyah akan mengalami tiga ” D”. Pertama degradasi (penurunan). Kedua delusi (berkaitan dengan perbandingan atau persentase jumlah dengan yang lain). Ketiga disrupsi (tersisihkan).
Sedang asyik ngobrol terpaksa kami harus berhenti, karena di luar terdengar pengumuman bahwa upacara peringatan milad Muhammadiyah ke-112 akan segera dimulai. Lalu kami pun segera menuju ke lokasi acara.
Itulah sekelumit kenangan dengan beliau, yang kini telah meninggalkan kita di usianya yang masih tergolong muda yaitu 47 tahun. Berpulangnya seorang kader akan meninggalkan “ruang kosong” di struktur organisasi maupun AUM. Selanjutnya adalah tugas para penerusnya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan beliau.
Kematian adalah sebuah misteri hanya Allah semata yang mengetahui. Kita sebagai hamba tidak bisa menolaknya ketika malaikat maut menjemput. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al- Araf : 34 yang artinya, “Dan setiap umat mempunyai ajal atau batas waktu. Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.”
Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Selamat jalan H. Dadang Safarudin, semoga Allah menerima seluruh ibadahmu dan pengkhidmatanmu di Muhammadiyah dicatat sebagai amal saleh.
Semoga kepergianmu diiringi dengan ampunan Allah atas segala dosa dan khilafmu. Kami semua akan mengenangmu dan meneruskan jejak perjuanganmu. Wassalam.
