Oleh:
Yandi
(Ketua PCM Ciawi – Tasikmalaya)
TASIKMU.COM–Iuran anggota yang “wajib” dibayarkan setiap bulan oleh anggota dan kader Muhammadiyah tidaklah besar cuma sepuluh ribu rupiah. Uang sebesar itu nilainya samabdengan harga semangkok baso gerobak dorong. Namun kewajiban ini seringkali terlupakan dan terabaikan.
Secara organisatoris iuran anggota adalah kewajiban yang harus ditunaikan, sesuai dengan amanat pasal 4 Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah. Sedangkan nominal sepuluh ribu mengacu pada Surat Keputusan (SK) PP Muhammadiyah No. 104/KEP/I.O/C/2016. Meliputi anggota Muhammadiyah diluar AUM dan bagi karyawan serta pejabat struktural di AUM. Sedangkan nominal bagi Mahasiswa dua ribu lima ratus rupiah dan siswa seribu lima ratus rupiah.
Mekanisme iuran anggota oleh PP Muhammadiyah telah dipermudah dengan membuat terobosan lewat platform iuranmu.org Lazismu Pusat ditunjuk sebagai pengelolanya, dan seluruh dana akan terkonsolidasi disana. Setelah itu didistribusikan kembali sesuai SK PP diatas dengan rincian, Pimpinan Pusat 5%, Pimpinan Wilayah 10 %, Pimpinan Daerah 20%, Pimpinan Cabang 25%, dan Pimpinan Ranting sebesar 45%.
Menyinggung masalah iuran anggota Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, menyatakan bahwa ada nilai makna dibalik iuran anggota. Dengan iuran anggota tumbuh rasa memiliki yang menyatu dalam rasa wajib untuk menghidupkan organisasi atau Persyarikatan Muhammadiyah. Dengan panggilan rasa memiliki ini tumbuh ikatan berorganisasi yang kuat, kecintaan, militansi, kebersamaan, dan kebanggaan berorganisasi. Itulah nilai fungsi dan makna iuran anggota sebagai tali pengikat organisasi, yang memadukan ikatan lahiriah dan ruhaniah sebagai penanda keanggotaan Muhammadiyah.
Tidak bisa dinafikan bahwa Muhammadiyah punya kekayaan melimpah baik aset maupun sumber daya insaninya. Kiprah dakwahnya pun kini telah memasuki kancah internasional. Tetapi capaian kemajuan itu belum semuanya merata di setiap wilayah, daerah maupun cabang dan ranting.
Tidak setiap hierarki kepemimpinan Persyarikatan mandiri secara finansial. Karena berbagai faktor, masih banyak cabang dan ranting yang belum berdaya dan dibelit persoalan sehingga berjalan tertatih-tatih. Bagi akar rumput yang memiliki sumberdaya dan basis material yang kuat boleh jadi tidak sempat mengurus iuran anggota lagi. Tapi bagi cabang yang belum lama berdiri, kondisi kas minim, maka urusan finansial sepenuhnya bertumpu pada infak sedekah dan iuran anggota.
Berbicara tentang iuran, ada “kenangan” dari Bung Karno yang perlu dinukil kembali disini. Saat itu ketika pidato penutupan Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta. Sang Proklamator yang juga kader Muhammadiyah bertanya, “Kenapa dirinya sejak menjabat sebagai Presiden tidak pernah ditarik iuran anggota?” tegasnya. Ucapan Bung Karno ini secara tegas menunjukan kesadaran dan komitmennya sebagai kader. Setidaknya itu yang bisa kita baca dari lontaran verbalnya, yang menyimpan sense of belonging, rasa memiliki terhadap Persyarikatan. Begitulah sejatinya seorang kader, tertanam komitmen sekaligus “compliance“, kepatuhan akan kewajibannya pada organisasi yang dicintainya.
Tradisi Urunan
Indonesia pada tahun 2024 ini oleh Charities Aid Foundation (CAF) kembali dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia. Dan di Indonesia berdasarkan hasil sebuah survei, sebagaimana dinyatakan oleh Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, Muhammadiyah menempati urutan pertama sebagi ormas keagamaan paling filantropis.
Kebiasaan wakaf, infak, sedekah dan bentuk kedermawanan lainnya telah menjadi living values di Persyarikatan. Tradisi ini begitu lekat sehingga menjadi identitas Muhammadiyah. Secara historis semangat ini pula yang dipraktekan oleh pendiri Muhammadiyah, Kyai Dahlan, dengan melelang properti yang ada di rumahnya. Kisah pengorbanan beliau yang all out, menjadi “best practise” tentang praksis filantropi di Muhammadiyah yang terus hidup di dalam memori kolektif setiap kader.
Ketulusan pengorbanan yang legendaris itu menjadi “heritage moral” yang terus hidup dalam diri segenap warga Muhammadiyah. Yang diwujudkan dalam berbagai varian filantropi salah satu diantaranya adalah tradisi urunan. Di tingkat akar rumput tradisi ini biasanya dilakukan secara spontanitas dan menjadi jawaban ketika kekurangan dana untuk kegiatan organisasi.
Berbicara tentang urunan, secara substansi iuran anggota pada intinya merupakan urunan yang telah mengalami pelembagaan. Ditentukan nominalnya, waktunya dan kepada siapa kewajiban ini dibebankan, jelas regulasinya.
Tidak bisa dipastikan sejauh mana ketaatan warga Muhammadiyah dalam membayar iuran. Namun jika merujuk pada temuan Mitsuo Nakamura yang mengungkapkan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi yang disiplin. Salah satu sisi kedisiplinan itu akan segera tampak pada ketaatan dan kepatuhan pada regulasi organisasi, baik berupa fatwa, putusan atau maklumat yang dikeluarkan.
Penutup
Jika mengacu pada SK PP Muhammadiyah tahun 2016, iuran anggota seharusnya disetorkan ke Pimpinan Pusat. Namun dengan alasan praktis dan menghindari “birokrasi” di Muhammadiyah –sementara urusan keuangan selalu menjadi hal mendesak– banyak cabang dan ranting yang mengelola dana tersebut secara mandiri.
Iuran anggota bukan perkara angka belaka , ada aspek “personal bonding” didalamnya, antara anggota dan kader dengan Persyarikatan. Sebagaimana telah dikutip diatas, dengan iuran anggota tumbuh rasa memiliki yang menyatu dalam rasa wajib untuk menghidupkan organisasi atau Persyarikatan Muhammadiyah, tegas Prof. Haedar.
Ala kulli hal, Nakamura selanjutnya mengungkapkan bahwa di Muhammadiyah tidak ada alat pendisiplinan yang efektif melainkan kesadaran pribadi para anggotanya. Dan elemen kecil dari kesadaran pribadi itu adalah menunaikan iuran anggota yang nilainya hanya semangkok baso.
Wallahu ‘alam bishawab