Oleh:
Yandi
(Ketua PCM Ciawi, Tasikmalaya)
TASIKMU.COM — Kader Muhammadiyah belakangan ini sering mendapat postingan yang berisi narasi pujian dan sanjungan yang datang dari para pengamat baik luar maupun dalam negeri. Tentu saja itu semua membuat para kader bangga.
Namun semua pujian atau compliments itu tidak lantas melenakan kita. Alhamdulillah, rasa syukur kita panjatkan kepada Allah pemilik segala puji. Selanjutnya terimakasih kita ucapkan atas semua apresiasi.
Coretan ringan ini idenya tiba-tiba muncul dibenak penulis ketika merenungi sejenak “progres” perjalanan cabang yang mau menginjak usia tiga tahun. Ditengah segala puja-puji dan hiruk pikuk isu penolakan tambang dan penarikan dana 15 triliun dari sebuah Bank Syariah plat merah oleh Muhammadiyah.
Dalam perenungan penulis melakukan flashback ke titik awal dimana dakwah Muhammadiyah di Ciawi bermula. Yang awalnya para pimpinan tidak saling kenal kini hubungannya sudah semakin akrab dan tambah hangat. Bahkan saking kenalnya, “gradasi” pengkhidmatan di Muhammadiyah masing-masing pimpinan, insya Allah, sudah hafal diluar kepala.
Berdasarkan hasil cermatan yang sudah diluar kepala itulah penulis ingin melakukan reafirmasi kepada seluruh pimpinan tentang hal penting dalam ber-Muhammadiyah. Setidaknya dua hal harus ada dalam diri seorang kader atau pimpinan. Pertama, adalah knowledge yaitu pengetahuan, pemahaman dan wawasan tentang Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK).
Pengetahuan dan wawasan dibutuhkan karena Muhammadiyah bukan hanya infrastruktur fisik semata berupa sekolah, universitas dan rumah sakit. Muhammadiyah adalah sebuah entitas pemikiran yang didalamnya ada rumusan-rumusan doktrinal yang dikenal dengan nama manhaj atau paham agama dan ideologi Muhammadiyah. Yang terdapat dalam berbagai dokumen berupa HPT, Mukadimah Anggaran Dasar, MKCH, PHIWM dan seterusnya.
Ketika memutuskan untuk berkhidmat di Muhammadiyah dan kini sebagai pimpinan, sejatinya semua manuskrip resmi Muhammadiyah di atas harus ada di rak buku perpustakaan rumah. Bukan sebagai pajangan tapi untuk dibaca dipahami dan dihayati kemudian diaktualisasikan.
Seorang kader Muhammadiyah dituntut harus banyak bacaan, agar kaya wawasan dan pengetahuan, tidak narrow minded, berwawasan sempit. Silakan membaca buku-buku Max Weber atau Karl Marx dan semua buku tasawuf, tapi itu hanya sekedar untuk menambah cakrawala pengetahuan. Seperti kata pepatah, setinggi- tinggi bangau terbang, hinggapnya ke pelimbahan juga. Jika kata-kata bijak ini ditarik ke Muhammadiyah, sejauh apapun diaspora intelektual seorang kader kembalinya ke Manhaj Tarjih Muhammadiyah juga.
Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir pernah mengatakan, semakin lama di Muhammadiyah seorang kader sejatinya harus semakin lekat dan dekat dengan manhaj dan ideologi Muhammadiyah. Hampir tiga tahun ber-Muhammadiyah, merupakan waktu yang cukup untuk secara tadaruj, perlahan namun pasti, memahami sekaligus menghayati manhaj dan ideologi Muhammadiyah.
Meskipun itu membutuhkan prasyarat, yaitu ketika memasuki “rumah” Muhammadiyah, masuklah secara kaffah jangan setengah-setengah. Aktif di Muhammadiyah sekedar pertimbangan pragmatis dan parsial hanya karena ingin mengetahui manajemennya yang rapi dan akuntabel. Tanggalkanlah baju lama, ganti dengan baju Muhammadiyah. Ubahlah mindset lama yang hanya berputar-putar pada wacana abstrak ke model berpikir praksis ala Muhammadiyah. Kata kunci dari semua itu adalah bukalah hati untuk menerima manhaj Muhammadiyah dengan penuh ketulusan.
Yang kedua adalah commitment, atau komitmen dalam bahasa Indonesia. Definisi yang penulis temukan dari kata ini adalah menggambarkan suatu pengabdian atau perjanjian pada diri seseorang terhadap suatu hal dalam jangka waktu yang lama.
Komitmen seorang kader dalam ber-Muhammadiyah ditunjukkan dengan keterlibatan secara aktif dalam memakmurkan pengajian. Hadir ke pengajian cabang dan ranting itu memang banyak tantangan dan selalu ada “excuse” untuk ketidakhadiran. Hujan bisa mengurungkan langkah seorang kader untuk hadir ke pengajian. Begitu pula tugas dan kesibukan. Bahkan ada juga yang menempatkan pengajian Muhammadiyah bukan sebagai prioritas dengan segala dalih apologetiknya.
Jika diurutkan sequence-nya, seorang kader tidak mungkin tiba-tiba mencapai level pengabdian -apalagi militansi- sebagaimana definisi komitmen yang dikutip diawal, jika manhaj dan ideologi Muhammadiyah belum terinternalisisasi dalam hati yang bersangkutan. Dan mustahil bersemayam dalam hati jika manhaj dan ideologi Muhammadiyah tidak dibaca, dipahami, dimengerti dan dihayati.
Sebagai penutup penulis ingin menegaskan ulang bahwa menjalani aktivitas dan semua dinamika organisatoris di Muhammadiyah, membutuhkan knowledge and commitment. Namun hanya pengetahuan atau aspek kognisi belaka tanpa adanya komitmen yang kuat tidak akan impactful, demikian pula sebaliknya.
Alhasil dengan kedua aspek itulah sejatinya kita sebagai kader menjalani hari-hari ber-Muhammadiyah. Sambil mengingat pesan Kyai Dahlan, “Agar engkau sekalian mau memelihara dan menjaga Muhammadiyah itu dengan sepenuh hati, agar Muhammadiyah bisa terus berkembang selamanya”.
Wallahu ‘ alam bishawab.