Nalar

Membangun Kader Akar Rumput

Oleh: Yandi

(Ketua PCM Ciawi, Tasikmalaya)

TASIKMU.COM-Jika kader dimaknai sebagai anggota inti yang menjadi tulang punggung dan motor penggerak roda organisasi. Maka yang dimaksud dengan membangun kader akar rumput disini adalah membangun pemahaman, literasi dan wawasan manhaj serta ideologi Muhammadiyah bagi semua anggota cabang dan ranting. Dengan harapan kelak bisa menjadi kader yang akan menjadi backbone, tulang punggung penggerak roda organisasi.

Cabang dan ranting sebagai frontliner dakwah Muhammadiyah akan selalu menarik untuk digali dan didiskusikan, karena profilnya yang sangat beragam. Ada yang sudah maju, ada yang medioker atau pertengahan. Dan yang terbanyak yang masih merangkak.

 

Keragaman juga mewarnai perkaderannya dengan ciri dan karakteristik masing masing. Bagi cabang dan ranting yang berkategori maju dan medioker pintu masuk perkaderan sangat terbuka, pilihannya bisa lewat pintu ortom atau jalur AUM. Tapi bagi yang masih merangkak yang terbuka cuma jalur konvensional, yaitu lewat pengajian.

 

Berikut ini highlights kisah perkaderan yang masih konvensional. Pertama, kisah sepasang suami istri kader Muhammadiyah dan Aisyiyah yang menginisiasi terbentuknya sebuah pengajian yang terdiri dari bapak-ibu. Tidak lama setelah pengajian berjalan, komunitas ini bertransformasi menjadi Pimpinan Ranting Muhammadiyah dan Aisyiyah sekaligus.

 

Diketahui kemudian perjalanan “bebas hambatan” pengajian ini menjadi ranting karena basis jamaahnya merupakan “silent Muhammadiyah”, yaitu mereka yang secara state of mind telah lama memiliki irisan dengan Muhammadiyah namun tidak berani menampakkan diri. Indikasinya adalah ekspresi keagamaannya yang puritan. Shalatnya tidak pakai ushalli, tarawihnya 11 rakaat, mengikuti Muhammadiyah dalam penentuan awal puasa Ramadlan, Idulfitri dan Iduladha.

 

Kedua, kisahnya datang dari seorang pemuda yang gelisah, merasa tidak nyaman dengan sikap dan praktik keagamaan lingkungannya yang serba sinkretis. Lalu menemukan masjid Muhammadiyah dan mendapatkan ketenangan dalam aktivitas ibadahnya.

 

Suasana solitude masjid tersebut membuatnya merasa menemukan spiritualitas yang selama ini dicarinya.
Pengalaman ini sangat membekas dalam dirinya, ajakan aktif di pengajian cabang pun dengan sukacita disambutnya. Ghirahnya yang konsisten dalam ber-Muhammadiyah mengantarkannya menjadi seorang kader.

 

Becoming Kader

 

Kader adalah entitas yang tidak terpisahkan dari Muhammadiyah, ia instrumen penting organisasi yang embedded melekat kuat, tertanam di dalam tubuh Persyarikatan. Dakwah yang bermula dari Kauman lalu menyebar ke berbagai penjuru, tak lepas dari keberhasilan perkaderan periode awal yang dirintis dan dibangun oleh kiai Dahlan. Tercatat ada beberapa murid utama yang menjadi kader kiai Dahlan diantaranya kiai Fakhrudin, kiai Hadjid, kiai Sudja, dll. Merekalah yang meneruskan perjuangan dakwah pasca kiai Dahlan wafat.

 

Becoming kader atau proses membentuk anggota biasa sampai menjelma menjadi kader membutuhkan waktu dan tahapan panjang. Sekadar menyegarkan kembali, secara praksis membangun kader di Muhammadiyah sudah ada acuan organisatorisnya, yang dinamakan Sistem Perkaderan Muhammadiyah ( SPM). Terdapat dua model SPM. Pertama, ada yang dikategorikan sebagai perkaderan utama yaitu Darul Arqam (DA) dan Baitul Arqam (BA) yang pola dan skemanya sudah baku. Kedua, ada perkaderan fungsional yang formatnya variatif, bisa berbentuk workshop perkaderan, upgrading perkaderan atau dialog ideopolitor.

Berkembangnya cabang dan ranting yang ditandai dengan masuknya keanggotaan baru merupakan “berkah” bagi pergerakan. Kehadirannya merupakan tambahan amunisi yang memperkuat daya dorong langkah dakwah di tataran akar rumput. Anggota baru yang sering disebut sebagai “mualaf” Muhammadiyah secara manhaj dan ideologi masih fragile, rentan tergerus oleh godaan paham dan ideologi lain. Ini membawa implikasi bagi para pimpinan di level grass root untuk membina dan merawatnya dengan strategi perkaderan yang terencana, terorganisir dan sustainable. Langkah ini merupakan sebuah keniscayaan sebagai upaya untuk membangun kader akar rumput dengan basis ke-Muhammadiyahan yang kuat dan kokoh.

Hal ini sejalan dengan pesan ketua umum PP Muhammadiyaah Haedar Nashir, pada saat acara Ideopolitor PWM Jabar, Agustus 2023 lalu di UMB – Bandung. Bahwa sistem perkaderan Muhammadiyah menjadi hal yang mendesak dan harus terus dilakukan karena bersifat sangat penting sebagai ikhtiar konsolidasi ideologis.

 

Selanjutnya Haedar menambahkan, elemen ini harus terus didialogkan kepada para pimpinan agar memiliki alam pikiran dan gerakan yang selaras dalam hal ideologi, politik, dan organisasi. Hal ini harus diperkuat agar gerakan Muhammadiyah tidak centang perenang. Baik centang perenang pikirannya dan centang perenang dalam gerakannya.

 

Peran Strategis MPKSDI Daerah

 

Menarik apa yang ditulis Bahtiar Dwi Kurniawan ketua MPKSDI PP Muhammadiyah periode sekarang, yang menjelaskan salah satu platform majelisnya: “Untuk menjaga agar para kader dan pimpinan Muhammadiyah tetap mempunyai komitmen, etos, dan loyalitas yang tinggi pada Muhammadiyah dan Aisyiyah maka agenda peneguhan ideologi ke-Islaman dan ke-Muhammadiyahan harus terus digelorakan dan disemarakkan. Oleh karena itu tidak heran kiranya agenda peneguhan ideologi menempati prioritas utama dan pertama bagi Muhammadiyah periode 2022- 2027 ini “.

 

Apa yang digaungkan oleh MPKSDI pusat ini harus di-break down oleh MPKSDI daerah menjadi sebuah aksi konkret yang aplikatif dengan merancang “halaqah” perkaderan utama atau fungsional yang sesuai dengan kebutuhan akar rumput.

 

Dalam konteks inilah urgensinya MPKSDI daerah memiliki data base setiap cabang dan ranting, untuk mengetahui secara akurat kondisi aktual sumber daya kadernya. Sehingga ke depan tidak akan ditemukan lagi fakta yang memprihatinkan yaitu ditemukannya cabang dan ranting yang gagal melaksanakan Musycab atau Musyran karena tidak ada penerus yang melanjutkan estafet kepemimpinan, akibat tidak berjalannya proses perkaderan.

 

Oleh karena itu penting bagi para pimpinan untuk terus memedomani rumusan SPM yang berbunyi : “Jika Persyarikatan tidak merancang dan menyiapkan para kadernya secara sistematis dan organisatoris, maka dapat dipastikan bahwa Muhammadiyah sebagai suatu organisasi akan lemah lunglai, loyo tidak berkembang, tidak ada aktivitas dan tidak memiliki prospek masa depan. Karena itu setiap organisasi haruslah memiliki konsep yang jelas, terencana dan sistematis dalam menyiapkan dan mengembangkan suatu sistem yang menjamin keberlangsungan transformasi dan diversifikasi kader serta regenerasi kepemimpinan.”

 

Penutup

 

Cabang dan ranting adalah pilar dakwah Muhammadiyah yang ada di basis kepemimpinan akar rumput. Gerak langkahnya tergantung pada komitmen, loyalitas dan daya juang para kader dan anggotanya. Dibutuhkan sinergi, kerja keras dan konsistensi semua unsur pimpinan untuk membangun kualitas kader akar rumput. Di dalam SPM setidaknya ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang kader Muhammadiyah. Pertama, kompetensi intelektual atau akademik. Kedua, kompetensi keagamaan. Ketiga, kompetensi sosial dan kemanusiaan. Keempat, kompetensi kepemimpinan atau organisasi.

 

Pasca Musycab dan Musyran, merevitalisasi kader dengan menyelenggarakan “halaqah” perkaderan baik formal atau fungsional, menjadi agenda krusial yang harus segera dilakukan oleh PDM. Ini sebagai langkah untuk membangun fondasi nilai nilai dasar gerakan bagi anggota baru dan me-recharge ulang bagi kader lama agar memiliki spirit baru yang lebih menjulang.

Citizen Journalism

Komentari

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tren

Laman ini didedikasikan untuk warga net mengedepankan kedekatan. Terbuka untuk terlibat menuangkan gagasan ke dalam tulisan dan mewartakan aktivitas lapangan sejalan dengan kaidah jurnalistik.

SIlakan bergabung.

Kontak kami

Alamat: Jl. Kalawagar Singaparna Tasikmalaya
Telefon: (+62) 01234-5678
Email: redaksi@tasikmu.com

Copyright © 2019 TASIKMU | MVP | powered by Wordpress.

Ke Atas