Nalar

Eksistensi Alam, “Manusia adalah Neraka Bagiku”

Oleh:

Rony Mardyana

(Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah)

Alam ini ada untuk merawat Bumi. Manusia ditugasi untuk berkolaborasi bersama alam dan tumbuhan. Teks kitab suci melegitimasinya dengan panggilan “Khalifah”. Harapan dan kebajikan berada di pundak manusia. Seolah-olah keselarasan dan keseimbangan ekosistem menjadi sebuah jaminan. Kausalitasnya manusia yang merawat alam akan dirawat juga oleh alam.

Akumulasi pengetahuan dan pengalaman manusia bertambah seiring berjalannya waktu. Ide dan pikiran manusia yang menuntut untuk berpikir menghasilkan infrastruktur/prasarana untuk menjaga keberlangsungan kehidupan. Alat dan teknologi menjadi “rekan kehidupan” untuk melakukan berbagai aktivitas dengan segala kemudahan. Pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia terkadang menihilkan elemen lain yang mempunyai kebermanfaatan bagi kehidupan. Bertambahnya pengetahuan dan berkembangnya teknologi tidak disertai dengan bertambahnya wawasan terhadap kelestarian alam.

Jalannya kehidupan manusia dengan memberikan porsi yang lebih besar bagi akal menjadikan sebuah piranti untuk mengatur dan menjalani keberlangsungan kehidupan. Seperti yang dikemukakan oleh Donald B. Calne (2018) tentang konsep nalar, bahwa ia bisa menjadi buruk ataupun menjadi baik. Tatkala arogansi datang asumsi manusia sebagai pusat dari segala sesuatu muncul, dan secara tidak langsung menganggap alam semesta tidak mempunyai nilai intrinsik. Semuanya berpusat pada kebutuhan manusia, maka alam dan yang lainnya tidak ada.

Alam dan tumbuhan bisa hidup dan selalu bertumbuh. Ada nilai filosofis kehidupan. Tapi yang dilihat hanyalah nilai ekonomis semata. Kebutuhan ekonomis dan demi pertumbuhan ekonomi menjadi patokan utama. Didalam pikiran kita tak menempatkan alam sebagai subjek yang mempunyai kebutuhan. Ketidakadilan sudah dimulai sejak dalam pikiran. Penindasan dan bahasa kemungkaran tidak hanya dilakukan ketika manusia menindas manusia lainnya, tetapi lebih buruk lagi ketika menindas alam beserta isinya.

Reduksi Peran Alam

Jalan pikiran korporasi mengafirmasi absennya eksistensi alam. Eksploitasi alam dengan penuh keserakahan dengan menghitung nilai ekonomis yang menguntungkan mengakibatkan keruskan ekologi lingkungan, perubahan iklim dan hilangnya terancamnya kehidupan para mahluk hidup yang telah lama membangun ekosistem. Lahan dan hutan hanya dilihat sebagai ladang investasi. Surplus yang dikejar hanya demi kebutuhan materi. Tak melihat lebih jauh sehingga kelak yang tersisa bagi generasi setelahnya hanyalah ampas materi yang berbentuk uang logam dan kertas. Tugas sejarawan mengingatkan keadaan dimasa depan. Tugas pembuat kebijakan seharusnya membuat aturan yang bisa menjamin keberlangsungan kehidupan dimasa yang akan datang.

Tidak adanya pengakuan terhadap kehidupan alam didasari atas regulasi yang dikeluarkan tak mengakui eksistensi alam. Demagogi pembangunan ekonomi sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dilakukan dengan mengalih fungsi lahan, menggali pasir ataupun menggunduli hutan dengan dalih investasi. Sejalan yang dikatakan oleh Yuval Noah Harari (2018) bahwa hampir seluruh negara di dunia saat ini mengabaikan keselamatan bumi dengan bukti bahwa negara lebih mengejar pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan instrumen lingkungan daripada mengurangi gas emisi, produksi dari alam yang menyebabkan perubahan iklim, dan lain-sebagainya. Tentu menjaga alam tak hanya mengganti sebuah botol plastik, tapi diperlukan adanya kebijakan yang mengikat dan legalistik.

Keserakahan yang melanda manusia dengan sering mengeksploitasi alam diafirmasi oleh regulasi yang mempunyai relasi dengan pemegang kuasa yang defisit akan pengetahuan etika lingkungan. Hasilnya alam dan lingkungan direduksi hanya dipandang sebagai keuntungan profit semata, bukan sebagai satu-kesatuan untuk saling berirama.

Eksistensi Alam

Alam yang dikonstruksi menurut pandangan manusia hanyalah dipandang sebagai objek semata. Ia tak hidup, dan tak diakui sebagai sebuah subjek yang berdiri sendiri. Setiap pandangannya terhadap alam dilihat sebagai sebuah objek untuk keuntungan. Tak merasa bahwa alam sebenarnya punya nilai asal yang tak boleh diubah. Kuasa alam terhadap keberlangsungan bumi tak diragukan lagi. Kehilangan ekosistem berakibat pada keberlangsungan kehidupan mahluk bumi.

Tak boleh arogan dengan menganggap manusia sebagai pusat pengendali bumi. Sesama manusia pun adakala dianggap saling mematikan karena tidak bisa mengontrol diri, dan tinggi akan egois diri. Kehadiran manusia bagi manusia lain bisa menjadi malapetaka. Bahkan bisa jadi kehadiran manusia terhadap manusia lain sebagai datangnya neraka. Kebebasan yang dimiliki oleh manusia mengakibatkan adanya saling mengobjektivikasi terhadap orang lain sehingga menimbulkan negasi dan perseteruan baru. Tak heran, Sartre mengatakan “Orang lain adalah neraka bagiku.”

Alam pun demikian jika hanya dianggap sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomis dan ditempatkan dibawah status yang minimalis. Apa yang dilakukan manusia dengan segala dalih kebebasan akan dianggap oleh alam sebagai sebuah malapetaka. Kehadirannya bukan malah menjaga keberlangsungan bumi, tetapi hanya untuk eksploitasi dan pemenuhan hasrat diri. Disinilah terus timbul persoalan baru. Maka, jika hal ini terus berlanjut tak jauh pula bahwa alam pun akan berkata, “Manusia adalah neraka bagiku”.

Citizen Journalism

Komentari

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tren

Laman ini didedikasikan untuk warga net mengedepankan kedekatan. Terbuka untuk terlibat menuangkan gagasan ke dalam tulisan dan mewartakan aktivitas lapangan sejalan dengan kaidah jurnalistik.

SIlakan bergabung.

Kontak kami

Alamat: Jl. Kalawagar Singaparna Tasikmalaya
Telefon: (+62) 01234-5678
Email: redaksi@tasikmu.com

Copyright © 2019 TASIKMU | MVP | powered by Wordpress.

Ke Atas