Harga susu sapi perlahan naik, sejak sekitar Oktober 2018. Biasanya berada pada kisaran Rp 4.000,- per liter. Mula-mula naik jadi Rp 4.500,- dan lalu menjadi Rp 5.000,-.
Untuk beberapa saat, kondisi tersebut membuat peternak sapi perah sumringah. Antara lain seperti yang diutarakan oleh sebagian warga Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya. Tepatnya di Desa Guranteng, yang populasinya mencapai 500 ekor. Para peternak rata-rata mampu memproduksi susu antara 3.500 hingga 4.000 liter.
“Kenaikan harga ini karena permintaan susu semakin meningkat,” ujar salah satu peternak sapi perah dari Pagerageung. “Sebagian besar susu dari sini dikirim ke perusahaan, dan sebagian lagi diproduksi untuk dipasarkan di daerah,” lanjutnya.
Menjalin kemitraan dengan perusahaan, dalam hal penjualan susu, memang masih diperlukan Farid dan kelompoknya. Sebab ada kendala modal untuk dapat mengolah sendiri. Kebetulan juga, kata Farid, belakangan ini akan kembali berdiri pabrik pengolahan susu.
Seiring dengan naiknya harga jual susu, ternyata harga pakan tuga tidak stabil. Malah cenderung sering naik. Kondisi inilah yang memicu keluh-kesah para peternak sapi perah. Sebab tidak dapat meraih untung yang signifikan.
“Sekarang harga pakan mencapai Rp 3.500,- per kilo. Sementara dalam sehari satu ekor sapi saja makannya 5 kg konsentrat dan 40 kg rumput. Artinya bisa habis Rp 58.250,-. Sedangkan susu yang dihasilkan paling bagus juga sekitar 10 liter per ekor,” ujar Farid.
Di samping itu, tidak semua susu sapi bisa laku dengan harga tinggi. Hanya susu berkualitas tinggi yang harganya bisa menembus harga Rp 5.500,- per liter. Untuk susu yang kurang baik, paling tinggi antara Rp 4.000,- hingga Rp 4.500,- per liter.
“Secara matematis sebenarnya kita ini rugi. Tapi kami siasati dengan menanam sendiri rumputnya. Jadi nggak beli. Karena itulah sangat diharapkan adanya subsidi dari pemerintah untuk harga pakan. Jika begini terus, maka jelas tidak ada keuntungan buat peternak,” pungkasnya.
