Selasar

Sidanto Cafe: Untuk Para Pegiat Kopi Serius, dari Bulir hingga Seduhan Surga

Keputusan yang nekat bagi seorang Irfan Wahyudin. Di usia pernikahannya yang baru seumur jagung, ia berketetapan hati untuk menggeluti dunia yang sama sekali baru baginya.

Ia totally resigned sebagai salah seorang tenaga medis di salah satu rumah sakit di Singaparna. Beruntung, bagi Irfan. Sang istri, yang merupakan adik kelasnya semasa mondok di salah satu pesantren Muhammadiyah Singaparna, mendukungnya seratus persen! Lalu, jadilah Sidanto Cafe.

Irfan tidak sendirian. Ia ‘dijerumuskan’ oleh sepupunya, Fakhri yang dimotivasi oleh sang ayah untuk menekuni bisnis kopi dengan brand: Sidanto yang merupakan singkatan dari Simalungun, Sidikalang dan Danau Toba. Kopi Sidanto inilah yang kemudian menjadi trade mark, core bussiness sekaligus nama Cafe-nya.

Sebenarnya, sang ayah adalah asli Singaparna yang mempunyai lahan sekitar 2 hektar yang ditanami kopi sendiri di Simalungun, Sumatera Utara. Jadi, masih Indonesia, masih Tasik dan masih Singaparna. 

Tetapi, bagi para pengopi militan, Sidanto Cafe tak ubahnya kelelawar. Malam adalah waktu yang tepat untuk menghirup bergelas-gelas kopi dalam berbagai varian penyajian dalam satu irama: Mandailing.

Kopi Mandailing adalah jagoan Sidanto yang ditawarkan bagi pengopi serius yang datang dari penjuru Tasikmalaya. Uniknya, Sidanto menawarkan Wine. Satu kreasi unik para pegiat kopi Sidanto yang mendedahkan aroma wine dalam setiap bulir biji kopinya. Dan, itu halal. Varian lainnya adalah pie berry dan natural.

Bagi penulis sendiri, menghirup kopi adalah menghirup filosofi. Di dalamnya terkandung sejuta cerita. Tidak ada yang tertinggal setetes pun dari kisah anak manusia, antara suka dan duka, antara bahagia dan derita.

Semua terurai dalam cangkir kopi yang dibagi bersama. Itulah, mengapa menghirup kopi perlu waktu paling tidak dua jam untuk menyelesaikannya.

Menghirup kopi adalah menghirup makna hidup yang tak berkesudahan. Bergulir sebagaimana bijinya yang getir untuk diroast, digrind, hingga dipanaskan dan diseduh lalu menyesap dalam setiap saraf pencecap para penikmatnya.

Entah mengapa, ngopi yang tadinya sesederhana minum teh, kini menjadi kompleks dan serius. Ia telah menjelma menjadi industri yang menawarkan beragam pesona dan gaya hidup lewat tangan terampil barista yang paham betul akan meracik, meramu, mencecap, menyeduh hingga tiba di hadapan penikmat kopi seirus.

Mungkin kita harus berterima kasih kepada kompeni yang, konon, membawa bibit kopi dari Ethiopia dan Yaman untuk dibudidayakan secara paksa di tanah pribumi.

Bahkan ada kabar, para petani pribumi hanya diberi kesempatan untuk menyeduh daunnya saja tinimbang menikmati kopi unggulan ekspor VOC yang ditanami di lahan miliknya sendiri itu.

Itulah Black Gold, Java Cofee yang pernah jaya di masa penjajahan dan akan tetap jaya hingga entah kapan.

Hayu ngopi, bray.

Citizen Journalism

Komentari

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tren

Laman ini didedikasikan untuk warga net mengedepankan kedekatan. Terbuka untuk terlibat menuangkan gagasan ke dalam tulisan dan mewartakan aktivitas lapangan sejalan dengan kaidah jurnalistik.

SIlakan bergabung.

Kontak kami

Alamat: Jl. Kalawagar Singaparna Tasikmalaya
Telefon: (+62) 01234-5678
Email: redaksi@tasikmu.com

Copyright © 2019 TASIKMU | MVP | powered by Wordpress.

Ke Atas