Oleh Kalik Nursetiyo Widiyanto
Ketua MPI PWM Jabar
Salah satu kategori warga Muhammadiyah adalah Muhammadiyah-NU (MUNU). Sejatinya dia adalah warga Muhammadiyah tetapi karena lingkungan sekitarnya NU, maka masih mengikuti tradisi NU, misalnya tahlilan. Ini dilakukan untuk menjaga hubungan persaudaran di lingkungan rumah.
Dalam konteks kekinian, MUNU ini terjadi di lingkungan kerja. Kita tahu, beberapa kementerian dipimpin dari kalangan Nahdiyin. Sementara, banyak warga Muhammadiyah yang berkarir di kementerian-kementerian tersebut. Di satu sisi, patron ke-NU-an sangat kuat. Bila ada jabatan kosong, maka akan mendahulukan kader NU. Itu sudah jadi rahasia umum. Di sisi lainnya, warga Muhammadiyah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menempati jabatan itu akan tersingkir, karena bukan warga NU.
Menyikapi patronase seperti itu, tidak sedikit warga Muhammadiyah yang menyembunyikan ke-Muhammadiyah-annya. Agar bisa naik jabatan, ia rela mengaku bukan Muhammadiyah. Bahkan tidak jarang mengikuti tradisi NU baik yang ritual maupun profan. Tidak sedikit pula yang mengaku anak pengurus NU, atau pernah dikader di banon NU dan serentetan dalih agar ia bisa diterima di komunitas NU. Satu tujuannya, agar bisa naik pangkat atau jabatan.
“Ya kalau nggak gitu, saya nggak naik pangkat, atau jabatan, Mas,” katanya pada saya suatu waktu. Ya, teu nanaon sih, tapi nanaonan. Merekalah MUNU kekinian, atau bisa juga disebut mendadak NU.
Saya salut sama banyak PNS yang tetap memegang ke-Muhammadiyah-annya dan tidak mendadak NU karena mengejar jabatan. Mereka istiqomah dan berani mendeklar kepada atasannya, saya kader Muhammadiyah. Dan tidak mengejar-kejar jabatan. Jabatan itu akan datang kepadanya karena kapasitas dan kapabilitasnya, bukan karena patronase.
Pun sebaliknya, ada juga kader NU yang aktif di Ortom Muhammadiyah dengan tujuan bisa bekerja di AUM. Bisa menjadi guru, perawat, dokter atau dosen. Ketika sudah bekerja, mereka enggan ikut pengajian di PRM, PCM atau PDM. Sebab, tujuannya, ya, memang bekerja. Bahkan tidak jarang saat mereka menempati posisi strategis di AUM, memasukan banyak kadernya untuk bekerja di AUM. Sementara banyak kader Muhammadiyah sendiri yang berdarah-darah berdakwah dan memiliki kapasitas dan kapabilitas mumpuni mereka nggak bisa masuk AUM. Beragam alasan, dari nggak ada lowongan sampai alasan yang dibuat-buat.
Tidak sedikit kasus AUM yang kemudian hilang tertelan bumi gara-gara dikuasai orang yang tidak sepenuh hati ber-Muhammadiyah. Belum lama ini saya dapat kabar dari pengurus MPI salah satu PDM, ada TK Aisyiyah yang awalnya didirikan serta dibina oleh Aisyiyah, eh setelah besar dan memiliki banyak murid, tidak jadi mewakafkan ke Muhammadiyah malah membuat yayasan sendiri. Ironi. Tapi ini terjadi.
“Aku titipkan Muhammadiyah kepadamu,” pesan Sang Kyai. Namanya juga dititipkan, ya nanti suatu waktu bisa diambil lagi sama yang menitipkan. Bila ia merasa, yang diberi titip itu tidak amanah lagi. Tapi, nggak mungkin, Sang Kyai bangkit dari kubur.
Titipan itu akan diambilnya dengan hilang sirna dari bumi. Masa kejatuhan Muhammadiyah. Apakah mungkin Muhammadiyah ini hilang dari muka bumi? Mungkin. Tidak menutup kemungkinan. Tanda-tandanya sudah terlihat. Salah satunya, memanfaatkan (menjual) Muhammadiyah untuk kepentingan pribadi.
Semoga kita dijauhkan dari hal sedemikian itu…