Nalar

Refleksi Tragedi Politik: Penembakan KM 50 dan Pelanggaran HAM

Oleh: Zaki Nugraha

(Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta)

Pasca kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di tahun 2016 yang diikuti dengan Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017, keberadaan FPI (Front Pembela Islam) yang dipimpin oleh Rizieq Shihab menjadi sorotan publik dengan munculnya berbagai kasus atau laporan terhadap dirinya ataupun FPI. Kendati sempat ke luar negeri selama beberapa tahun, kepulangan Rizieq Shihab ke Indonesia menjelang akhir tahun 2020 kembali menarik perhatian. Hal ini diawali dengan penyambutan ketika kepulangannya di bandara, kegiatan pengajian yang melibatkan banyak orang (kerumunan), serta hingga saat ini berakhir di pengadilan / menjadi tahanan.

Namun salah satu peristiwa yang menarik perhatian publik yaitu terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap para pengawal Rizieq Shihab / laskar FPI di Tol Cikampek-Jakarta kilometer 50, daerah Karawang. Yang menjadi perhatian adalah adanya dua keterangan yang berbeda antara klaim dari pihak FPI maupun keluarga korban yang terbunuh, dengan pihak Kepolisian / oknum aparat negara yang terlibat.

Peristiwa ini yang melatar belakangi terbentuknya suatu tim pencari fakta seputar penembakan di Kilometer 50, yaitu Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal Habib Rizieq Syihab –atau yang dikenal dengan sebutan TP3—sebagai realisasi memenuhi ajakan Presiden RI Joko Widodo dan Menkopolhukam Mahfudz MD untuk memaparkan bukiti-bukti yang terkait dengan peristiwa pembunuhan enam pengawal / laskar FPI oleh oknum aparat negara di tol Jakarta-Cikampek.

Anotasi Buku Putih Pelanggaran (Hak Asasi Manusia) HAM Berat dan Tragedi Politik

Dalam judul Buku Putih Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan Enam Pengawal HRS yang ditulis oleh TP3 memuat beberapa peristiwa sebelum dan sesudah terjadinya peristiwa pembunuhan enam pengawal / laskar FPI. Kronologi beberapa peristiwa sebelum terjadinya penembakan di kilometer 50 telah memuat berbagai kegiatan pengumpulan informasi (gerakan intelijen) yang dilakukan oleh aparat negara.

Dalam buku tersebut dicatat bahwa peristiwa di Kilometer 50 disimpulkan sebagai suatu pelanggaran HAM berat, dan ini berbeda perspektif dengan KOMNAS HAM Argumen ini didasari atas pembunuhan yang melibatkan aparat negara dengan melihat rentetan kegiatan ataupun beberapa kasus sebelumnya yang menimpa FPI / HRS dan hubungannya dengan berbagai kasus hukum atau peristiwa yang melibatkan aparat publik. Pelibatan kendaraan aparat keamanan di sekitar Petamburan –yang notabene secara tidak langsung– di basis kantor & massa FPI, pemanggilan terhadap sejumlah Kepala Daerah terkait pelanggaran protokol kesehatan, ataupun perlakuan yang berbeda terhadap kasus yang sama oleh aparat keamanan –contoh: kasus kerumunan—merupakan beberapa peristiwa yang terjadi dan bisa kita saksikan di media massa. Dan dari sinilah penulis katakan bahwa ini bukan hanya persoalan hukum ataupun sekadar kasus prokes, melainkan juga persoalan politik.

Jauh sebelum peristiwa penembakan dan pembunuhan ini berlangsung, kegiatan FPI menjadi sorotan aparat negara. Bahwa dalil aparat negara untuk mengintai kegiatan FPI ataupun secara spesifik untuk mengawal perjalanan Rizieq Syihab karena sedang dalam terlibat kasus kerumunan (melanggar Kekarantinaan Kesehatan) menyiratkan adanya kegiatan politik di atas hukum karena pada saat itu status Rizieq Syihab masih sebagai saksi, bukan sebagai tersangka. Dan ketidakadilan ataupun intimidasi yang terjadi pada Rizieq Syihab ini dapat dilihat salah satu penyebabnya yaitu begitu banyaknya perbedaan politik antara pihak pendukung pemerintah dengan pihak FPI.

Akan tetapi politik tetaplah berorientasi pada kemanusiaan. Bahwa keberadaan politik bertujuan untuk mendistribusikan keadilan. Dan bangunan dari politik itu adalah kemanusiaan, karena hanya manusia lah “binatang” yang berpolitik. Maka tragedi penembakan dan pembunuhan yang terjadi di kilometer 50 yang melibatkan aparat negara dalam sudut pandang kemanusiaan tidaklah dibenarkan. Seberapa salah pun tersangka untuk membela diri, kuasa aparat hukum untuk berbuat proporsional terhadap kasus hukum lebih besar baik dalam informasi ataupun wewenangnya. Untuk itu UU sebagai payung kebijakan berbicara juga tentang kemanusiaan, atau tentang Hak Asasi Manusia, semata-mata untuk melindungi kemanusiaan.

Dan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana pasal 104 ayat 1 bahwa salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan. Dan pelanggaran kemanusiaan itu terjadi ketika aparat negara membunuh pengawal / laskar FPI tanpa proses pengadilan.

Citizen Journalism

Komentari

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tren

Laman ini didedikasikan untuk warga net mengedepankan kedekatan. Terbuka untuk terlibat menuangkan gagasan ke dalam tulisan dan mewartakan aktivitas lapangan sejalan dengan kaidah jurnalistik.

SIlakan bergabung.

Kontak kami

Alamat: Jl. Kalawagar Singaparna Tasikmalaya
Telefon: (+62) 01234-5678
Email: redaksi@tasikmu.com

Copyright © 2019 TASIKMU | MVP | powered by Wordpress.

Ke Atas