Nalar

Tentang Hutang Negara

Oleh Irfan Ansori

Sarjana dari Jurusan Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta

DALAM politik, satu-satunya isu yang tidak bisa ditutup-tutupi, dengan retorika politik adalah isu ekonomi. Bagaimanapun pencitraan yang massif di pelbagai media, isu ekonomi akan hadir dengan fakta yang menghancurkan pelbagai pencitraan tersebut. Sebelumnya, kita harus jujur, bahwa kita bersyukur, Indonesia dengan jasa semua pemimpinnya, telah membangkitkan perekonomian, dari krisis moneter 1998-99 yang membuat ekonomi kita benar-benar terpuruk.

Masuk pada perdebatan beberapa waktu ini. Sejak Capres No. 02, Prabowo  Subianto, menyerang Kementrian Keuangan dengan istilah “Kementrian Pencetak Utang”, lalu Sri Mulyani membuat “Puisi Pembelaan” atas kebijakan yang telah diambilnya, isu hutang negara–umumnya kebijakan ekonomi negara–menjadi menarik untuk diperbincangkan.

Sebagai mahasiswa jurusan Ekonomi Islam, sering sekali kita berdiskusi tentang perkonomian. Sampai pada akhirnya, pembahasan riba dan hutang. Tapi catatan ini akan fokus soal hutang.

Secara hukum Islam, berhutang adalah sesuatu yang boleh (mubah). Tapi membayar hutang hukumnya wajib. Bahkan seorang yang mati syahid, tidak akan dihisab, kecuali hutangnya.

Lebih jauhnya, kita akan membahas manajemen hutang. Singkatnya, hutang ada dua: hutang konsumtif dan hutang produktif. Keduanya bisa menguntungkan, bisa pula menjadi masalah. Hutang untuk biaya pengobatan, mau tidak mau kita golongkan terhadap hutang konsumtif, tapi itu baik. Juga hutang untuk biaya usaha, hutang produktif, tapi bisa jadi buruk jika tidak bisa mengelola usaha, kemudian bangkrut.

Maka, pada dasarnya, titik poin saya soal hutang adalah, bukan dilarang atau tidaknya, tapi soal bagaimana mengelolanya. Sekali lagi, tergantung si pengelolanya.

Belakangan ini terkadang saya baca propaganda: “Mulai Usaha Tanpa Hutang”. Tidak sepenuhnya saya sepakat, terutama kalau bisnis ekspor impor, atau komoditi usahanya yang berkaitan dengan waktu, seperti usaha buah-buahan dan pangan (ada masa panennya). Saat ternyata, permintaan tinggi dan anda tidak punya modal cukup untuk memenuhi permintaan itu, dangan alasan usaha enggan berhutang; itu namanya menyia-nyiakan kesempatan. Demand yang tinggi tidak datang setiap saat, pada dunia usaha. Bagi saya, saat kesempatan tersebut ada, malah wajib berhutang usaha. Namanya hutang produktif.

Atau, bisa juga bentuknya konsumtif, namun pada hakikatnya investasi. Misalnya kita tahu nih, tanah di tempat kita tahun depan bakalan naik harganya, kita pada posisi ditawari oleh si penjual, lalu kita tidak jadi beli karena enggan berhutang, ingin nabung saja. Dalam prinsip ekonomi, kita sudah merugi.

Ya, rugi! Karena cost production tahun depan akan semakin tinggi dari tahun ini, sehingga tabungan kita pun tak lagi mencukupi. Meski dengan nominal sama tahun lalu, tapi harganya sudah naik lagi. Kita pun kehilangan kesempatan.

Nah, konsep manajemen hutang seperti inilah yang menentukan, apakah hutang tersebut baik atau tidak. Kita tidak boleh memutlakkan pandangan “hitam-putih” terhadap hutang. Berhutang pun tidak selalu menjadi neraca minus, tapi dihitung pula sebagai tambahan aset, jika ternyata hasilnya menambah keuntungan.

Nah, bagi saya, retorika “Membangun Negara Tanpa Berhutang” dari pasangan No. 02, akan sangat mudah dimentahkan dengan fakta (jika terpilih) pada masa pemerintahannya. Karena faktanya, perusahaan pribadi milik Prabowo-Sandi pun punya hutang.

Sebagai Timses, anda bisa pula “menyerang” pernyataan saya ini. Tapi seperti disampaikan sejak awal, retorika sehebat apapun, fakta ekonomi akan selalu mampu memukulnya. Hal berlaku juga untuk pasangan No. 01, Jokowi-MA.

Sekali lagi, isu ekonomi adalah isu yang paling kencang dihembuskan, termasuk juga oleh pelbagai lembaga survei. Bahkan, survei yang memenangkan pasangan Jokowi-MA pun meletakkan isu ekonomi pada urutan nomor wahid.

Maka dari itu, soal hutang negara, mari kita bawa pada perdebatan tentang “bagaimana metode manajemen hutang yang efektif menurut kedua pasangan Capres-Cawapres”. Apakah berhutang untuk jalan Tol adalah sesuatu yang salah? Coba hitung oleh Timses masing-masing, jika jalan Tol tidak dibangun tahun ini, tahun depan misalnya, atau beberapa tahun lagi, berapa kira-kira besaran cost yang dibutuhkan? Karena menahan hutang dengan tidak membangun infrastruktur pun bukan sesuatu yang pasti tepat.

Gambarannya, kira-kira, begini. Biaya untuk tanah pembebasan tahun ini 1 juta per meter, lalu tahun depan jadi 2 juta per meter; itu berarti semakin lama menahan proses pembangunan harga tanah pembebasan akan semakin tinggi. Jadi, akan semakin repot ke depannya.

Maka, maksud saya, silahkan beradu data tentang manajemen hutang. Apakah cost delay project akan tertutupi dengan cara berhutang atau tidak berhutang? Maka, siapa yang punya data menarik, dan tawaran manajemen hutangyang efektif, akan mendapatkan simpati dari masyarakat.

Mungkin itu.

Citizen Journalism

Komentari

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tren

Laman ini didedikasikan untuk warga net mengedepankan kedekatan. Terbuka untuk terlibat menuangkan gagasan ke dalam tulisan dan mewartakan aktivitas lapangan sejalan dengan kaidah jurnalistik.

SIlakan bergabung.

Kontak kami

Alamat: Jl. Kalawagar Singaparna Tasikmalaya
Telefon: (+62) 01234-5678
Email: redaksi@tasikmu.com

Copyright © 2019 TASIKMU | MVP | powered by Wordpress.

Ke Atas