SHALAT itu sendiri, secara bahasa berarti doa. Di samping itu, jika kita hayati dengan seksama, bacaan shalat sarat dengan do’a. Sementara do’a adalah ruhul (ruhnya) ibadah.
Di luar rutial shalat, posisi do’a di tengah-tengah kehidupan masyarakat juga sangat strategis. Perhatikan saja, dalam berbagai perhelatan acara, biasanya diakhiri dengan do’a. Atau saat sebuah kompetisi hendak dimulai, kita tentu sering melihat para peserta memanjatkan do’a terlebih dahulu. Bahkan, dalam acara semisal arisan, resepsi ulang tahun, pernikahan, peresmian, dan laun sebagainya; orang tidak luput dari membaca do’a. Ini menandakan kalau do’a senantiasa mengiringi berbagai elemen kehidupan manusia. Mungkin ada anggapan kalau terasa kurang afdol ketika tidak memanjatkan do’a.
Untuk masyarakat Indonesia, berdo’a sudah merupakan suatu kebiasaan. Tidak saja bagi orang Islam, melainkan umat di luar Islam pun senantiasa memanjatkan do’a, tentu dengan caranya masing-masing. Namun sejauh mana kita memahami hakikat do’a?
Do’a adalah ibadah dalam bentuk permohonan. Lazimnya, bila seseorang memohon, tentu berharap agar terkabul dalam waktu singkat. Saking inginnya terkabul, tidak jarang seseorang meminta bantuan do’a dari kerabat, sanak saudara, bahkan tetangga. Jika semua itu sudah dilakukan, sementara do’a belum juga terkabul, kira-kira apakah yang akan muncul dalam pikiran serta hati kita? Berputus asa? Atau kembali meningkatkan intensitas do’a?
Rasanya kita perlu mendalami hakikat do’a. Jika dalam jiwa bahwa kita sudah tertanam sebuah keyakinan bahwa do’a tidak lain dari ibadah—seperti shalat, zakat, shaum, haji dan lainnya—maka kita tidak akan merasa lelah berdo’a. Di samping itu, kita juga tidak perlu memikirkan apakah do’a kita akan terkabul atau tidak. Kita hanya akan merasa telah menjalankan perintah-Nya. Sebab Allah Swt. berfirman dalam QS. Ghafir (40): 60:
“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina’.”
Dengan demikian, kita akan yakin kalau pengabdian dengan jalan berdo’a tidak sia-sia. Allah Swt. Mahamemperhatikan. Allah Swt. Juga tidak pernah mengingkari janji-Nya. Masalahnya justru kita-lah yang sering kali tidak meyakini itu semua. Manusia memang senantiasa dipenuhi oleh kebimbangan dan keraguan.
Tadi sudah dikemukakan, bahwa shalat adalah do’a. Lantas, apa saja yang dipermohonkan di dalam shalat?
1 Memohon Jalan yang Lurus
Dalam kaitannya dengan shalat dapat dicatat di sini beberapa do’a. Antara lain ketika membaca surah Al-Fatihah ayat 6:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Jika dibaca dengan penuh pengertian, sepenuh hati dan kesadaran yang tinggi, bahwa jalan yang lurus adalah yang didambakan setiap manusia untuk mencapai keselamatan, rasanya hati ini lebih mantap menapaki kehidupan yang penuh liku. Tak perlu gelisah, resah, apalagi berputus asa. Sebab kita hanya akan menjadikan stress. Yakin saja, bahwa Allah Swt. akan menunjuki kita jalan yang lurus; yang akan membawa kita ke kehidupan membahagiakan. Bukankah bahagia merupakan dambaan setiap insan!
Coba saja sesekali kita renungkan sebuah kenyataan, bagaimana sikap seorang muslim ketika hidupnya sedang dirundung malang seperti mengalami kegagalan, kerugian, tertipu, dan lain sebagainya(?). Kemudian bagaimana pula sikap seorang muslim bila dilanda kesenangan semisal anak-anaknya mendapat nilai memuaskan di sekolah, yang lainnya sukses pula meniti karier, bisnis berkembang dengan memuaskan, dan lain sebagainya(?).
Lalu, apa yang dimaksud dengan jalan lurus itu? Jalan lurus yang ditunjukkan Allah Swt. adalah jalan kesabaran saat mendapat musibah dan jalan syukur manakala mendapat sesuatu yang menggembirakan. Rasulullah Saw. bersabda:
“Sungguh mengagumkan kehidupan seorang mukmin itu, bila dia diberi nikmat dia bersyukur dan itu baik baginya, dan bila dalam keadaan menderita dia bersabar dan itu baik pula baginya” ( HR. Muslim).
Dengan bersabar, seorang muslim tidak akan mengeluh, tetapi berikhtiar dengan benar menurut syariah, tidak lantas lari ke tempat lain untuk mengadukan nasibnya. Seorang muslim hanya mantap mengadukan nasib kepada Allah Swt., serta menganggap musibah sebagai anugerah.
Bukahkah setelah kesulitan akan datang kemudahan? Allah Swt. Sendiri yang berfirman dalam QS. Al-Inshirah (94): 5 dan 6:
“Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Pada ayat di atas terdapat pengulangan kalimat yang berangkai. Itu menunjukan bahwa sabar amatlah penting dan patut diterapkan dalam kehidupan, ketika musibah menimpa diri. Sementara itu, tidak jarang ada orang berkata, “Ah, sabar itu hanya mudah diucapkan, belum tentu bisa melaksanakannya.” Memang benar. Tetapi patut diingat juga bahwa yang namanya sabar, bukan perkara yang tidak mungkin dipraktikan.
Ada kisah tentang Nabi Ayub yang diabadikan QS. Al-Anbiya’ (21): 83:
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Penyakit yang diderita Nabi Ayub adalah sejenis penyakit kulit yang menjijikan. Bahkan, istrinya sendiri meninggalkannya. Tetapi Nabi Ayub tidak memohon kesembuhan dalam do’anya, melainkan pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Penyayang.
Maksudnya, ada pelajaran yang dapat kita petik, antara lain Nabi Ayub merasa malu untuk memohon kesembuhan, karena kesehatan yang beliau rasakan sudahlah lebih dari cukup, bahkan lebih panjang masanya dari kondisi sakitnya. Beliau merasa antara sehat dan sakitnya tidak sepadan. Walaupun tergores harapan untuk sembuh seperti sedia kala, namun alangkah santunnya beliau mengucapkannya, yakni dengan ungkapan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang.
Karena itu, sudah tiba saatnya kini, di mana sabar dijadikan penolong, di samping shalat. Bukankah Allah Swt. Berfirman dalam QS. Al_Baqarah (2): 45:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”
Sabar itu berat memang, seperti dinyatakan dalam ayat tadi. Namun sekali lagi, harus senantiasa diupayakan. Karena Allah Swt. pun memberikan jalan keluar; yakni “kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”.
Kemudian patut juga rasanya kita bertanya, macam manakah orang-orang yang telah menempuh jalan yang lurus itu?
Allah berfirman dalam QS. (1): 7:
“(Yaitu) orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) yang sesat.”
Lalu, siapakah gerangan orang-orang yang telah Allah beri nikmat tersebut? Jawabannya, antara lain ada pada QS. An-Nisa (4): 69:
“Dan barang siapa yang mentaati Allah Swt. dan rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang–orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah Swt, yaitu: para nabi, para shidiiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh; dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Dalam satu hadist disebutkan pula:
“Dari Aisyah, ia berkata, Rasululloh Saw. bersabda, ‘Siapa pun nabi yang sakit, pasti diberi pilihan antara dunia dan akhirat.’ Ketika beliau sakit yang akhirnya wafat, dengan suara yang sangat serak , aku mendengar beliau bersabda, ‘Bersama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Swt. dari kalangan para nabi, shidiqqin, syuhada, dan shalihin.’ Maka aku tahu beliau telah diberi pilihan” (HR Bukhori).
Termasuk golongan manakah kita? Golongan para nabi? Tidak mungkin! Allah sudah mengutus nabi terakhir dalam sosok Nabi Muhammad Saw. Shidiqqin? Syuhada? Shalihin? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, sebaiknya kita kenali dulu masing-masing kelompok yang dimaksud.
Shiddiqqiin
Untuk mengetahui kriteria shiddiqiin (pencinta kebenaran), mari cermati QS. Al-Hujurat (49): 15:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah Swt.; mereka itulah orang-orang yang benar.”
Dengan demikian, beriman saja ternyata tidak cukup untuk memenuhi syarat menjadi shiddiqiin; tetapi harus juga dibuktikan dengan memperjuangkan agama Allah secara sepenuh hati. Misalnya saja sambil mengorbankan harta dan jiwa-raga.
Para pecinta kebenaran tidak akan merasa keberatan untuk mengorbankan harta miliknya, karena sadar bahwa harta yang tersebut sebenarnyalah hanya titipan Allah yang kelak harus dipertanggungjawabkan. Harta tidak kekal. Pada suatu saat setiap manusia akan berpisah dengan hartanya; baik terpaksa, dipaksa, atau dengan sukarela. Seorang shiddiqiin tentu akan memilih berpisah dengan harta secara baik-baik, di bawah ridho Allah Swt. Yaitu dengan jalan menafkahkannya di jalan yang diridhoi-Nya.
Artinya, kaum shiddiqiin bukanlah mereka yang berat saat mengeluarkan harta, misalnya karena terlampau cinta dan merasa bahwa harta itu buah atas jerih payahnya semata. Meski bukan pula shiddiqiin itu tidak memerlukan harta. Seorang shiddiqiin jelas memerlukannya, bahkan giat mengais rezeki. Tapi, setelah harta itu diperoleh, seorang shiddiqiin selalu membelanjakannya sesuai dengan aturan Allah Swt.
Aturan agama menerangkan bahwa pada nantinya, setiap jenis harta mesti dipertanggungjawabkan atas empat aspek: Pertama, dzat atau fisik harta tersebut: apakah halal atau haram? Kedua, cara memperolehnya: apakah dengan cara-cara yang dibenarkan, bukan dengan cara mendzalimi sesama semisal dengan jalan rekayasa keuangan (korupsi)? Ketiga, cara memeliharanya: apakah kewajiban zakat harta (tidak termasuk hasil korupsi)—di samping infaq dan shodaqoh—telah dipenuhi? Keempat, cara membelanjakan: akapah di jalan yang telah diridhai Allah Swt. dan Rasul-Nya?
Berpisah dengan harta adalah kepastian, sekalipun hati berkata tidak rela. Perpisahan itu bisa dengan bentuk yang bermacam-macam. Misalnya terkena musibah atau bencana alam, dicuri orang, pengobatan yang memerlukan biaya besar, dan yang paling pasti adalah saat tiba di ujung kehidupan (kematian).
Pertanyaannya, masihkah kita berasa berat untuk menjadi shiddiiqiin? Mari sama-sama renungkan! Mudah-mudahan hasil renungan ini nantinya akan membawa kita pada pencerahan jiwa, sehingga ketakwaan kita kepada Allah Swt. benar-benar membawa kebahagiaan, terutama di negeri akhirat kelak.
Golongan Syuhada
Tentang golongan syuhada, Allah berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 76, yang berbunyi:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah Swt, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu lemah”.
Peperangan, tentu saja penuh resiko; baik di jalan Allah Swt. maupun di jalan thaghut. Kalaupun tidak sampai gugur di medan perang, paling tidak yang berperang itu akan mengalami kelelahan; sebelum keluar pemenang dan pecundang pada akhirnya.
Pembeda antara keduanya adalah akibat atau hasil akhir. Pejuang di jalan Allah, walaupun harus gugur di medan perang, mendapat dijamin kebahagiaan di akhirat kelak. Gelarnya, syuhada. Sementara pembela thaghut, tidak ada jaminan kebahagian. Bahkan, gugurnya mereka seringkali disebut mati konyol.
Bila berpikiran jernih, kalaupun harus berperang, maka kita akan memilih opsi pertama; berjuang di jalan Allah, memperjuangkan Islam tanpa ragu, seperti telah diperlihatkan oleh para syuhada yang namanya harum semerbak sepanjang masa. Inilah sejatinya umur panjang yang senantiasa kita mohonkan; secara biologis jasad para syuhada terbujur kaku di peristirahatan terakhir, namun nama mereka ternyata masih hidup di hati setiap generasi. Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh, tengok saja para pejuang revolusi yang sahid memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajah. Nama mereka dikenang serta terus dicatat dalam tinta emas sejarah, diabadikan menjadi nama jalan, bangunan penting, dan lain sebagainya. Satu hal yang tak kalah penting, jasa-jasa para syuhada akan terus mengalirkan pahala yang tidak terkira.
Pertanyaannya, jika ada kesempatan untuk terjun di medan perang, maka siapkah kita menjadi syuhada? Tanyalah ke dalam diri masing-masing! Semoga tidak menjawab, “pikir-pikir dulu, deh”. Sepanjang kita yakin bahwa perjuangan itu benar-benar untuk membela agama Allah, tidak ada pilihan lain selain bismillah dan lahaula; kita singsingkan lengan baju menyongsong medan laga untuk sebuah keyakinan akan kebenaran.
Kelak, para syuhada akan disambut dengan “spanduk” bertuliskan:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surge-Ku” (QS. Al–Fajr: 27–30).
Ayat di atas memberi motivasi kepada seluruh kaum muslimin di muka bumi. Jika masih ragu, itu pertanda iman kita perlu mendapat tempaan kembali. Perlu di “up grade”, sehingga menjadi benar-benar mantap, tidak ada keraguan lagi sedikit pun.
Kisah Hamzah Bin Abdul Muttthalib barangkali ideal sebagai contoh. Julukannya “Singa Allah” dan “Panglima Syuhada”. Khalid Muh. Khalid memuat kisahnya dalam buku Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah. Katanya, Rasulullah dan Hamzah hidup pada satu generasi. Usia keduanya nyaris sebaya, beda tipis, dibesarkan bersama, bermain bersama hingga menjadi sahabat karib, serta menempuh jalan kehidupan dari bermula selangkah demi selangkah secara bersama-sama pula.
Menginjak dewasa, Rasulullah dan Hamzah menempuh jalan masing-masing. Hamzah fokus mengejar kelayakan dan merintis jalan untuk memperoleh kedudukan di kalangan pembesar-pembesar kota Mekah dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Sementara Muhammad muda memilih bertahan di lingkungan cahaya ruhani yang menerangi jalan baginya menuju Illahi, serta mengikuti bisikan hati yang mengajaknya menjauhi kebisingan hidup untuk mencapai renungan yang dalam, serta mempersiapkan diri dalam menyambut dan menerima kebenaran.
Lalu di manakah peran Hamzah sehingga mendapat julukan Singa Allah dan Panglima Syuhada?
Ketika perang Uhud pecah, yaitu perang antara orang-orang kafir Quraisy melawan pasukan Rasulullah Saw., Hamzah tampil dengan gagah berani mendampingi Rasulullah Saw. Pada perang itu, Rasulullah adalah target utama musuh, sementara Hamzah target kedua. Pimpinan Quraisy bernama Abu Sufyan, secara pribadi menaruh dendam kesumat terhadap Hamzah, yang sebelumnya telah membunuh bapak mertua serta paman dan puteranya pada perang Badar. Atas dendam itu pula istri Abu Sufyan bernama Hindun menghasut untuk segera berperang.
Hindun sampai menggembleng dan menghasut seorang budak belian bernama Wahsyi. Hindun berjanji, jika Wahsyi mampu membunuh Hamzah, maka ia akan dihadiahi kekayaan yang berlimpah dan jaminan pembebasan atas status budak yang melekat dalam dirinya. Saat peperangan hampir selesai dengan tanda-tanda kemenangan ada di pihak Muslim, tiba-tiba kondisinya berbalik, sebab pasukan panah yang ada di perbukitan melanggar perintah. Mereka meninggalkan tempat karena tergiur dengan harta rampasan perang.
Kaum Muslim pun berbalik terdesak. Sebab pasukan berkuda musuh menyerang kaum Muslim dari belakang, menggunajak jalur yang ditinggalkan pasukan pemanah tadi. Hamzah mampu membaca situasi. Tetapi ia tidak menyerah. Malah sebaliknya, kian berkobarlah semangat juangnya; meningkatkan serangan, menerjang ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang. Tanpa disadarinya, bahwa diam-diam ada orang terlatih yang mengincarnya, sedang menunggu saat yang tepat untuk melancarkan serangan mematikan.
Dialah Wahsyi, budak belian Hindun, pada satu kesempatan melemparkan tombak kesayangannya dengan sekuat tenaga. Tepat sasaran, mata tompak mengenai pinggul Hamzah. Saking kuatnya, tombah Wahsyi sampai tembus hingga di antara kedua paha Hamzah. Hamzah berusaha bangkit menghampiri Wahsyi, tetapi tidak berdaya, hingga roboh pada akhirnya. Perang Uhud menjadi peperangan terakhir bagi Hamzah. Ia gugur sebagai syuhada di tangan Wahsyi.
Golongan Sholihin
Selanjutnya adalah golongan solihin. Allah berfirman dalam QS. Ali-Imran (3): 114, yang bunyinya:
“Mereka beriman kepada Allah Swt. dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.”
Urutan pada aya di atas, pertama-tama keimanan tertanam di dalam hati. Kemudian diikuti dengan amal perbuatan yang saleh; berupa perintah berbuat ma’ruf yang berbarengan dengan pencegahan atas kemunkaran. Tentu, amar ma’ruf dan nahyi munkar sebaiknya dimuali dari diri sendiri. Kemudian ditularkan di tengah-tengah keluarga, saudara, tetangga, dan kemudian kepada kerabat yang lain.
Sepertinya, inilah golongan yang paling mudah dijangkau oleh rata-rata umat Muslim zaman sekarang, walaupun bukan berarti jalannya akan terasa ringan. Paling tidak, golongan inilah yang mesti dijadikan tahapan pertama atau target minimal, sebelum mengejar target yang lebih tinggi lagi.
*&*
Di samping mengenal orang-orang yang diberi nikmat, layak diketahtui juga orang yang sesat dan dimurkai Allah Swt., agar kita tidak terjerumus ke dalamnya.
Secara keseluruhan, tentang orang yang sesat dan dimurkai Allah Swt. terangkum dalam QS. Al-A’raf (7): 179, yang berbunyi:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia , mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah Swt.) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah Swt.). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Maka mereka termasuk orang-orang yang lalai.”
Bahkan mereka sengaja menentang ajaran-ajaran Islam dengan cara mengambil jalan selain jalan Allah Swt. Pada ayat ini, Allah menggambarkan bahwa orang-orang yang sesat itu seperti binatang bahkan lebih sesat dari binatang. Itu disebabkan karena tidak mempergunakan akal, mata, hati untuk merenungi kebesaran-Nya.
Nah, pernahkah kita berfikir, tentang hati yang belum pernah dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah yang demikian luas, baik ayat kauniah maupun ayat kauliah? Tentang mata yang belum dipergunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang tebentang amat luas di jagat raya ini?
Perhatikanlah bumi yang kita pijak, di sana tumbuh beraneka macam tumbuh-tumbuhan. Misalnya jeruk. Dari jeruk saja kita bisa memperoleh bermaca-macam spesikasi, bisa berlainan batang, berlainan daun, berlaian bentuk buah dan berlaian pula rasa serta aromanya. Padahal tumbuh di atas tanah yang sama. Demikian pula dengan tanaman yang lain.
Kemudian perhatikan juga kehidupan di dalam air, apakah air tawar atau asin; berapa banyak species yang ada di sana? Dari berbagai jenis ikan tersebut boleh diperhatikan sifatnya; ada yang senang berada di permukaan air, ada yang maunya di dasar kolam sambil mengaduk-aduk isi kolam, ada yang punya kebiasaan mundur seperti ikan mujair, kemudian ada juga yang timbul-tenggelam seperti ikan tambakan. Jika kita perhatikan warna sisiknya juga beraneka ragam, ikan hias misalnya memiliki warna sisik yang cemerlang berwarna-warni indah dipadang mata, sehingga mempunyai nila ekonomis tinggi, namun ada juga warna sisik yang biasa-biasa saja, di mana nilai ekonimisnya ditentukan oleh kelezatan daging dan bobot badannya, begitu pula dengan bentuk dan ukuran yang pasti beragam. Selanjutnya silahkan teliti dan perhatikan segi-segi yang lainnya, yang tentu masih banyak yang belum disebutkan di sini.
Semua itu sebagian mahluk yang berada di luar manusia. Sedangkan pada diri manusia itu sendiri tidak sedikit yang harus dilihat dan direnungkan. Perhatikan, betapa sempurnanya tubuh manusia, letak masing-masing anggota tubuh demikian tepat, dari mulai rambut sampai ujung kaki, terpadu dengan pas sehingga semuanya terlihat harmonis. Kemudian mekanisme pertumbuhan yang telah terpola dengan teratur, sehingga pada suatu saat tidak lagi berkembang, tidak selamanya mengalami pertambahan tingi, sekalipun melebar, masih dalam batas normal.
Pernahkah membayangkan seandainya tubuh ini terus semakin tinggi? Apa yang akan terjadi dengan lingkungan seandainya hal itu terjadi, seperti rumah, gedung-gedung perkantoran dan fasilitas umum lainnya. Jelas akan menimbulkan efek yang luar biasa repotnya. Kenapa pula di antara tubuh yang dimiliki manusia ada sebagian yang sakit bila dipotong tapi ada juga yang tidak sakit, seperti kuku dan rambut. Sulit untuk membayangkan seperti apa jadinya bila rambut merasa sakit bila digunting. Siapa yang mengatur semua itu? Adakah manusia yang mampu menanganinya?
Lalu, sekali-kali amati juga mekanisme makan dan minum yang dikonsumsi dari mulai dikunyah oleh gigi, kemudian ditelan dan dicerna oleh usus ada yang namanya usus jari ada usus besar dan lainnya. Betapa sari-sari makanan didistribusikan secara otomatis lewat mekanisme berfungsinya organ tubuh seperti misalnya darah, ada yang dialirkan ke atas, ke bawah, samping kiri dan kanan untuk kemudian diserap oleh masing-masing anggota tubuh. Lalu sisa-sisa makanan berupa residu dikeluarkan sedemikian rupa, juga dengan mekanisme yang serba otomatis melalui lubang belakang, diawali dengan sinyal mulas dan kadang buang angin. Jika pada suatu ketika terdapat sebagian organ yang tergangu, sampai misalnya tidak bisa BAB, yang terjadi pastilah badan merasa tidak nyaman dan aktifitas pun terganggu.
Jelas semua itu telah diatur oleh Yang Maha Pengatur. Yakni Allah Swt. Yang Maha Hebat. Dengan tidak ketinggalan menyediakan berbagai fasilitas agar manusia dapat menjalani hidup dan kehidupan dengan baik seperti udara, air, tumbuh-tumbuhan, binatang dan barang tambang.
Belum lagi kalau kita perhatikan alam raya yang amat luas ini seperti di antaranya difirmankan Allah Swt. dalam QS. Al-Mulk (67): 3, yang berbunyi:
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”
Seakan menantang bagi mereka yang meragukan ke-Maha Besaran Allah Swt. Allah mengulang firman-Nya melalui QS. Al-Mulk (67): 4, yang berbunyi:
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah”.
Semakin kita membuka mata disertai dengan pemikiran yang jernih, niscaya akan menemukan kebenaran ayat-ayat suci tadi.
Karena itu pantaslah kalau kemudian Allah Swt. berfirman,
“Maka nikmat Tuhan kamu yang mana lagi yang kamu dustakan.”
Cermati ayat tersebut dan resapkan ke dalam kalbu, insya Allah hidayah akan didapat, hingga mendorong kita untuk terus mentadaburi Al-Qur’an Al-Karim. Sebanyak tiga puluh satu kali Allah SWT mengulang kalimat itu dalam QS. Al-Rahman (55).
Adapun berkaitan dengan telinga, bisa dievaluasi sebagai berikut: Apakah yang selama ini didengar hanyalah simponi melulu yang sesuai dengan selera, atau hanya mendengar asyiknya ghibah? Atau tekun mendengar provokator menebar provokasi dan berbagai jenis keburukan yang memang pada umumnya enak untuk didengar?
Kenapa telinga ciptaan Allah ini terasa tuli mendengar lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an, padahal akan membawa ke jalan yang lurus dan dapat menghantarkan ke depan pintu gerbang kebahagiaan? Atau sekalipun mendengar, kenapa hanya sekedar mendengar, tidak ada efek dan tindak lanjut berikutnya?
Adapun contoh kongkrit bagaimana seharusnya sikap kita ketika mendapatkan kekayaan dan atau kekuasaan, sebagaimana telah diperagakan oleh Nabi Sulaiman As. Perhatikan QS. An-Naml (27): 40, yang berbunyi:
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab:” Aku akan membawa singgasana itu kepadamu, sebelum matamu berkedip” Maka tatkala Sulaiman As. melihat singgasana itu terletak dihadapannya, iapun berkata:” Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmatNya). Dan barang siapa bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.
Nah, mulai sekarang, mari kita tingkatkan pendalaman terhadap kandungan ayat Al-Qur’an, sehingga apa yang selalu didengungkan Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya benar-benar dapat dirasakan.
Kepada yang sudah terbiasa, tingkatkan terus kebiasaan positif tersebut, dan alangkah mulianya jika mengajak serta kerabat yang lain, sehingga tercipta komunitas pencinta Al-Qur’an. Alangkah indahnya, bila kondisi itu benar-banar terwujud di lingkungan kita.
(Bersambung)