Nalar

Shalat, Tangga Menggapai Keberuntungan dan Kebahagiaan Hidup

Oleh Abdurazak

QS. AL-MUKMINUN (23): 1-2, secara tersurat menerangkan konsep Islam tentang cara manusia menggapai keberuntungan. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) Orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.”

Titik tekan ayat di atas adalah iman; fondasi atas seluruh perikehidupan manusia. Tanpa iman yang kokoh, jangan harap ibadah dapat diterima oleh Allah Swt.; sekalipun menurut ukuran manusia, secara matematis, kuantitasnya terhitung banyak dalam arti sering dikerjakan. Tanpa iman, semua sia-sia belaka, seperti air di daun keladi. Maka, tanamkan iman yang kokoh dahulu, setelah itu baru menunaikan kewajiban-kewajiban yang lain, seperti shalat.

Rasulullah Saw. pun, dalam menyebarkan syariat Islam, mengawalinya dengan penanaman akidah atau keimanan. Kemudian dilanjutkan dengan masalah-masalah peribadatan ritual seperti shalat, shaum, zakat, haji dan seterusnya. Pada prosesnya, penanaman akidah lebih lama dari pada perintah-perintah ibadah. Konon, selisihnya antara 11 tahun untuk mengajarkan akidah berbanding 10 tahun untuk memerintahkan ibadah. Ada juga yang mengatakan 13 tahun berbanding 10 tahun.

Kemudian, pada surat yang sama, ayat berikutnya (3), Allah Swt. berfirman:

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.”

Maksudnya, di luar shalat, faktor manusia menggapai keberuntungan hidup adalah pola berinteraksi dengan sesama. Menghindari segala sesuatu yang tidak berguna, baik melalui perkataan maupun perbuatan.

Perkataan yang tidak berguna antara lain: berbohong, mengadu domba, fitnah, menceritakan keburukan atau aib orang lain, dan banyak lagi. Lisan jelas lebih tajam dari pedang. Luka tubuh akibat sayatan pedang masih mungkin sembuh kembali, tetapi luka hati akibat sayatan lisan hendak ke mana obatnya akan dicari?

Sementara perbuatan yang sia-sia bahkan mengundang dosa, misalnya mencuri (baik dengan jalan kasar maupun dengan halus seperti korupsi, permainan mark up, kong kalikong, kamuflase, window dressing dan lain-laindengan tujuan memperkaya diri sendiri atau golongan). Kekayaan hanyalah bersifat sementara, tidak lebih dari tipu daya kehidupan. Sesungguhnya mencuri adalah perbuatan dzalim, dan mendzalimi sesama berarti menzalimi diri sendiri.

Ayat selanjutnya (4) berbunyi:

“Dan orang-orang yang menunaikan zakat.”

Zakat boleh dikatakan sebagai lawan atas perbuatan yang tidak berguna. Sebab sungguh, zakat merupakan salah satu perekat pergaulan dalam masyarakat. Dengan zakat, manusia bisa menciptakan keharmonisan bermasyarakat. Sudah barang tentu, zakat yang tertunaikan berlandaskan iman yang mantap, sebab banyak juga orang kaya tak beriman yang enggan mengeluarkan zakat.

Kesadaran menunaikan zakat amatlah perlu terus digelorakan, dikembangkan, dan dicarikan formulasi terbaiknya. Jika berhasil dioptimalkan, potensi zakat di Indonesia sungguh luar biasa. Dampaknya akan terasa sangay nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini jelas membantu upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Beruntunglah dewasa ini telah tumbuh lembaga-lembaga pengelola zakat, infaq dan sodaqoh. Lembaga-lembaga ini akan membantu menyalurkan zakat dari para muzakki.

Pertanyaanya, bagaimana cara mensosialisaikan pentingnya zakat kepada masyarakat? Bagaimana pula cara meyakinkan masyarakat agar benar-benar percaya kepada badan pengelola zakat, infaq dan sodaqoh yang ada? Dua upaya ini sangat penting. Sebab tanpa kepercayaan dari para para muzakki, lembaga-lembaga tersebut hanyalah nama tanpa arti.

Karena itu, inilah saatnya bagi badan pengelola kepentingan sosial ekonomi masyarakat meningkatkan kinerjanya lebih profesional lagi, serta menjunjungan tranparansi administrasi, dengan berpedoman pada hukum-hukum Islam. Langkah evaluasi secara periodik tentu diperlukan, untuk melihat capaian periode yang lalu, serta melihat kelemahan-kelemahannya untuk kemudian diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Mari kita simak juga ayat berikutnya (5):

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.”

Salah satu kodrat manusia adalah menyalurkan kebutuhan biologisnya. Dalam hal ini, Islam dengan tegas memerintahkan supaya manusia menyalurkan kebutuhan biologisnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, yaitu atas dasar ibadah. Jika segala sesuatu dilaksanakan atas dasar ibadah, maka nilainya menjadi berlipat ganda. Semua itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang tingkat keimanannya tinggi.

Pada ayat ke-8 QS. Al-Mukminun, Allah Swt. berfirman:

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.”

Sungguh luar biasa dampak dari amanat dan janji yang dipelihara dengan baik. Orang yang demikian itu adalah orang yang tidak ingin membuat orang lain kecewa atas pengkhianatannya. Kejujuran merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar lagi, baik dalam ranah individu, kepentingan umum atau masyarakat, bahkan bernegara. Kejujuran adalah benteng atas godaan yang datang bergelombang tak henti-henti dan silih berganti. Kejujuran akan memberi manusia rasa aman saat menitipkan amanat.

Pada ayat selanjutnya (9), Allah Swt. lagi-lagi menyitir kata shalat:

“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.”

Memelihara shalat berarti bergegas mendirikannya di awal waktu, tidak pernah lupa apalagi meninggalkannya. Orang yang memelihara shalat adalah yang senantiasa menunggu-nunggu waktu shalat, sementara di sela-sela itu mengisi waktu dengan berbagai aktivitas bermanfaat; baik bagi dirinya, keluarga, maupun masyarakat. Misalnya saja berangkat ke kantor, ke pasar, ke sawah dan lain sebagainya. Semua dikerjakan atas dasar ibadah: ibadah ghoiru mahdokh, yaitu ibadah melalui hubungan interaksi dengan sesama manusia.

Orang yang memelihara shalat juga adalah mereka teliti terhadap syarat wajib, syarat syah, sunah, rukun dan yang membatalkan shalat. Sementara orang yang mengabaikan syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkan shalat disebut “pencuri shalat”.

Jika kita menghubungkan ayat 2 dan ayat 9; di mana titik tekan pada ayat ke-2 adalah “khusyuk” sedangkan pada ayat ke-9 adalah “memelihara”, maka itu berarti bahwa shalat merupakan bentuk ibadah yang diutamakan. Tidak cukup dengan khusyuk, tetapi juga harus memeliharanya.

Mendirikan shalat secara khusyuk erat kaitannya dengan hati. Artinya, hanya hati yang bisa merasakan khusyuk tidaknya shalat. Hati pula yang dapat merasakan lezatnya shalat, yang bermakna bukan hanya gerakan-gerakan fisik saja, tapi sambil mensucikan zat Allah Swt. Sedangkan memelihara shalat lebih pada pekerjaan fisik, anggota tubuh. Antara lain seperti memenuhi seluruh persyaratan shalat, rukun shalat dan menjauhi segala sesuatu yang membatalkan shalat, termasuk di dalamnya gerakan-gerakan dan bacaan-bacaannya.

Artinya, shalat bukan sekadar kewajiban, melainkan juga merupakan kebutuhan. Sebab, jika dipandang sebagai kewajiban semata, besar kemungkinan shalat akan menjadi beban yang berat. Misalnya betapa kita mesti bangun jauh sebelum matahari terbit untuk mendirikan shalat Subuh, ketika tengah terlena buaian enaknya tidur; betapa kita harus segera shalat sementara pekerjaan masih belum selesai dan dituntut harus segera diselesaikan; betapa shalat harus segera ditunaikan pada saat asyik menyaksikan tontonan yang seru; ketika terlena oleh permainan kesukaan; ketika mengobrol seru, yang kalau ditinggal akan menggangu dan lain-lain masalah untuk menghambat seseorang menunaikan shalat. Akan tetapi, jika shalat dipandang sebagai kebutuhan; insya Allah tidak akan terasa berat. Malah sebaliknya, kita dapat meneguk kelezatan shalat. Subhanallah. Waktu shalat akan senantiasa terus kita nantikan dan rindukan.

Apakah ini hanya sebagai pemanis kata? Hanya mencari sensasi, hanya untuk menarik perhatian, atau memang bisa diimplementasikan? Mari kita mencobanya setahap demi setahap tanpa perlu berputus asa! Syukurilah jika sudah berhasil!

Pada akhirnya, berbahagialah mereka yang dapat menjaga shalat dan menunaikannya dengan khusuk. Sebab pada ayat ke-10 dan ke-11 QS. Al-Mukminun, Allah Swt. menegaskan bahwa “Mereka itulah orang-orang yang mewarisi surga Firdaus dan kekal di dalamnya”. Mari jadikan semua itu sebagai target dan sasaran utama kita, sebagai muslim serta mukmin.

Pertanyaannya kemudian, apakah ada konsep lain untuk menggapai kebahagiaan di luar konsep Islam tadi? Jawabannya, tentu ada!

Kita tentu tahu kalau berbagai macam ilmu dan teori sudah banyak ditemukan, percobaan dan analisa terus dikembangkan, hingga manusia mencapai tingkat keilmuan seperti sekarang, di mana kemajuan ilmu dan teknonogi sedemikian pesat. Misalnya saja era digital yang mampu memecahkan problem jarak geografis dan proses pencarian data.

Namun, sudahkah kebahagiaan yang diharapkan itu ditemukan? Tentu harus ada parameter tertentu yang dipergunakan.

Sudahkah kita menemukan parameter yang cocok dan disepakati bersama? Jika parameter bersifat fisik material yang digunakan, maka tentu jawabannya ada, bahkan mungkin banyak. Sementara jika menggunakan parameter keruhanian yang bertumpu serta berpijak pada ajaran agama; barangkali kita masih perlu mencobanya kembali!

Citizen Journalism

Komentari

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tren

Laman ini didedikasikan untuk warga net mengedepankan kedekatan. Terbuka untuk terlibat menuangkan gagasan ke dalam tulisan dan mewartakan aktivitas lapangan sejalan dengan kaidah jurnalistik.

SIlakan bergabung.

Kontak kami

Alamat: Jl. Kalawagar Singaparna Tasikmalaya
Telefon: (+62) 01234-5678
Email: redaksi@tasikmu.com

Copyright © 2019 TASIKMU | MVP | powered by Wordpress.

Ke Atas