Nalar

Shalat sebagai Tanda Syukur

ilustrasi.

Oleh H. Abdurazak

TIDAK ada satu pun peribadatan dalam agama Islam yang tidak mengandung unsur syukur, tidak terkecuali shalat. Mari kita perhatikan QS. Al-Maidah (5): 6.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan sikut dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (toilet) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah Swt. tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Perhatikan juga QS. Al-Kautsar (108): 1- 3.

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”

Jelas sudah bahwa antara nikmat, shalat dan syukur tidak dapat dipisahkan. Dalam kata lain, shalat merupakan salah satu cara untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan Allah Swt.

Di samping itu, dalam sebuah hadist diriwayatkan, suatu ketika Siti Aisyah ra. bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah mendapat jaminan dari Allah Swt. bahwa engkau akan masuk surga, mengapa engkau shalat sampai bengkak-bengkak demikian?” Rasulullah Saw. bersabda, “Tidakkah engkau merasa senang bila aku bersyukur terhadap Allah Swt.?”

Coba renungkan, betapa hamba Allah Swt. yang sedemikian mulia sekelas Rasulullah Saw. saja masih senantiasa bersyukur kepada-Nya; yang salah satu caranya dengan rajin mendirikan shalat. Selanjutnya, coba ajukan pertanyaan kepada diri sendiri: sudahkan kita termasuk golongan orang-orang yang pandai bersyukur kepada Allah Swt.; antara lain dengan tidak lalai mendirikan shalat? Atau, jangan-jangan, kita bahkan termasuk golongan yang merasa bahwa apa yang kita peroleh itu semata-mata jerih payah sendiri, tanpa mengingat campur tangan Allah Swt.? Kalaupun kita tidak pernah melewatkan shalat lima waktu, apakah kita sadar bahwa shalat yang didirikan itu sebagai perwujudan rasa syukur terhadap Allah Swt.?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas itu penting. Sebab, ketika suatu amal tidak dilakukan dengan penuh kesadaran tentu jadinya akan kurang focus. Bahkan boleh jadi setengah hati atau asal-asalan saja. Hasilnya pun tidak akan maksimal, serta tidak berimbas pada kehidupan kita sehari-hari. Tentu akan berbanding terbalik jika suatu amalan dikerjakan dengan sepenuh hati, berlandaskan pada kesadaran dan keimanan yang kokoh; kita akan menemukan ketenangan, kebahagiaan dan menjalani hidup ini dengan penuh optimism, seperti yang dijanjikan Allah Swt. dalam QS. Al-Ankabut ( 29): 45.

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah Swt. (shalat) itu adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Dan Allah Swt. mengetahui apa yang engkau kerjakan.”

Barangkali, masih maraknya penyakit STMJ (Shalat Terus Maksiat Jalan) di tengah masyarakat antara lain disebabkan oleh belum benarnya kita dalam mendirikan shalat. Sebab Allah Swt. tidak mungkin berdusta saat mengatakan shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Kitanya saja yang masih lalai.

Shalat, sebagai tanda syukur, paling tidak dapat juga dijadikan alat ukur untuk dua dimensi: ketaatan (sykur) dan pengingkaran. Allah Swt. berfirman dalam QS. Ibrahim (14): 7.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumatkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.”

Jelas, lugas, dan tegas; begitulah peringatan Allah Swt. seperti biasanya. Bagi Allah Swt. sendiri, sejatinya ibadah manusia tidak berarti apa-apa. Sekalipun seluruh manusia beriman dan bersyukur, sama sekali tidak menambah kadar kemuliaan-Nya. Begitupun sebaliknya, sekalipun seluruh manusia mengingkari nikmat Allah Swt., itu tidak berarti akan mengurangi keagungan-Nya. Selamanya Allah Swt. akan tetap Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Taat dan syukur kepada Allah Swt. seutuhnya demi kepentingan kita. Sebab hanya kita yang selalu mengharapkan limpahan rezeki. Sementara janji Allah Swt. sangat jelas; limpahan nikmatnya hanya bagi mereka yang pandai bersyukur.

Bagaimana bersyukur itu? Misalnya saja ketika menerima hadian dari atasan, dalam bentuk apapun itu, orang yang pandai bersyukur nyaris tidak mungkin luput dari mengucapkan terima kasih. Hatinya akan berbunga-bunga karena saking senangnya. Sementara orang yang tidak pandai bersyukur akan meremehkan atau mengecilkan nilai dari hadiah tersebut. Misalnya saja sambil mengucapkan, “Ah, cuman segini. Coba kalau dua kali lipat.” Tidak ada rasa senang di hatinya.

Citizen Journalism

Komentari

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tren

Laman ini didedikasikan untuk warga net mengedepankan kedekatan. Terbuka untuk terlibat menuangkan gagasan ke dalam tulisan dan mewartakan aktivitas lapangan sejalan dengan kaidah jurnalistik.

SIlakan bergabung.

Kontak kami

Alamat: Jl. Kalawagar Singaparna Tasikmalaya
Telefon: (+62) 01234-5678
Email: redaksi@tasikmu.com

Copyright © 2019 TASIKMU | MVP | powered by Wordpress.

Ke Atas