Oleh : Ari Awalu Romadon
Ketua Umum KORKOM IMM UMTAS
Pancasila adalah dasar filsafat negara Republik Indonesia yang resmi disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945 (Kaelan, 2016: 01).
Artinya, Pancasila bukan hanya sekedar kata yang harus di ingat tetapi seharusnya di maknai secara dalam. Bila hanya sekedar di ucapkan lalu tidak mengerti atas apa yang di ucapkan, sama saja dengan tong kosong nyaring bunyinya. Hidup berpancasila tidaklah sulit untuk dilaksanakan di kehidupan sehari-hari dan akan lebih indah bila kita memancarkan cahaya berpancasila kita di diri dan kehidupan kita.
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya bangsa lain yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dalam perjalanan hidupnya berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang merdeka, mandiri serta memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup bangsa.
Setelah melalui suatu proses yang cukup panjang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menemukan jati dirinya, yang di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat, dan karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain, yang oleh para pendiri negara kita dirumuskan dalam suatu rumusan yang sederhana namun mendalam, yang meliputi lima prinsip (lima sila) yang kemudian di beri nama Pancasila (Kaelan, 2016 : 03).
Butir-butir pancasila yang berbunyi 1 Ketuhanan Yang Maha Esa; 2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3 Persatuan Indonesia; 4 Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebikjasaan dalam Permusyawarahan Perwakilan; 5 Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam butir ke-1 Allah adalah Cahaya langit dan bumi kutipan Q.S an-Nur :35. Al-Ghazali menyebut Allah sebagai “cahaya” yang menerangi semesta. Al-Ghazali (terjemahan Kaserun, 2017 : ix) menurut Al-Ghazali, tidak ada cahaya yang benar-benar bersinar melainkan itu Cahaya Allah yang memancar ke segala penjuru jagat raya. Adapun cahaya yang kita yakini selama ini sebagai cahaya yang semu yang akan padam dan kembali menuju kegelapan.
Selanjutnya butir ke-2 filsafat Nasrani mengajarkan arti keadilan ialah, “Jangan lakukan kepada orang lain sesuatu yang kita tidak senang, kalau dilakukan orang kepada kita”. Di dalam hukum dasar dunia keadilan mengandung tiga perkara: persamaan, kemerdakaan, dan hak milik. 1 persamaan adalah hak segenap manusia. 2 kemerdekaan adalah kebebasan manusia menurut fitrahnya. Dan 3 hak milik adalah hukum mengakui hak milik seseorang atas hartanya sendiri (Hamka, 2015: 317-318).
Setelahnya butir ke-2 penulis akan menjelaskan lebih detail pada butir ke-5 Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Manusia secara bahasa di sebut insan, insan yang dalam bahasa Arabnya berasal dari kata nasiya ; berarti lupa.
Sedangkan dilihat dari kata dasar al-uns ; berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak (M Abdul Halim Sani, 2011: 02). Bila melihat sifat daripada manusia untuk menuju “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” itu memerlukan proses yang matang. Sedangkan manusia itu sendiri memliki sifat lupa.
Marx dalam (M Abdul Halim Sani, 2011: 03) menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya; binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya.
Melihat kutipan Marx untuk menuju keadilan sosial, manusia itu sendiri harus lebih dahulu menjadikan dirinya sebagai objek kehendak dan kesadarannya, contohnya individu ingin memerdekakan dirinya dan sahabatnya, lalu ia harus berkehendak dan sadar bahwa ia harus adil terhadap diri dan sahabatnya, barulah keadilan sosial akan terwujud.
Kemudian dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dan juga termuat dalam SK Dirjen Dikti. No 43/DIKTI/KEP/2006, di jelaskan bahwa tujuan materi Pancasila dalam rambu-rambu Pendidikan Kepribadian mengarahkan pada moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama, kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan, memantapkan kepribadian mahasiswa agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan penuh rasa tanggungjawab dan bermoral (Kaelan, 2017: 04).
Dalam ranah pendidikan pun harus rata dalam arti keadilan sosialnya itu harus merata, jelas sekali kata moral yang ungkap untuk di jalani agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu terwujud.
Laporan Gerakan Anti-Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menyebut, sebelum krisis sekitar 20 juta warga Indonesia berada di bawah garis kemiskinan (Eko Prasetyo,2004: 10). Sejahtera ialah kata harapan bagi manusia Indonesia, artinya bahwa sejahtera pasca penjajahan atau merdekanya Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu bukan lagi hanya kata saja, namun terbukti dan jelas nyata adanya. Dengan adanya Pancasila sejahtera eksisten dan konsisten serta rakyat Indonesia bisa merasakan itu semua yang tercantum dalam Pancasila.
Manusia dengan genggaman Pancasila di harapkan bisa memberi tangan untuk manusia yang memerlukan bukti-bukti dari setiap butir-butir Pancasila. BerPancasila untuk manusia Indonesia dan genealogi Indonesialah yang harus menjadi pengharum kesejahteraan Indonesia. Bhineka Tunggal Ika ada itu untuk keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia Hamka (2015: 01) menyatakan tidaklah akan di dapat dua manusia yang sama jalan kehidupannya dan tidak pula sama kekuatan badan dan kakinya. Hidup seseorang tidak akan sama akan tetapi sejahtera itu harus ada dalam diri setiap manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. (2015). Falsafah Hidup. Jakarta: Republika Penerbit.
Sani, Muhammad Abdul Halim. (2011). Manifesto Gerakan Intelektual Profetik. Yogyakarta: Samudra Biru.
Kaelan. (2016). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: PARADIGMA.
Prasetyo, Eko. (2004). Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book.
Kaserun (penterjermah). (2017). Cahaya Diatas Cahaya. Jakarta Selatan: Turos.