TASIKMU.COM—Banyak warga yang resah. Sebab, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRD RI) sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.
Keresahan warga terus meluas. Bukan hanya di kota-kota besar. Melainkan sampai juga ke Kabupaten Tasikmalaya. Seperti yang ditunjukkan oleh Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992.
Tidak berharap keresahan jadi kenyataan, SBSI 1992 pun mendatangi kantor Bupati Tasikmalaya pada Kamis (12/3/2020). Niatnya untuk beraudiensi dengan bupati.
Sayang, niatnya tidak terpenuhi. Bupati berhalangan hadir, kemudian mendelegasikan Asisten Daerah (Asda) II, Heri Bimantora, beserta sejumlah SKPD untuk menghadapi SBSI 1992.
Deni Hendra Komara, Ketus SBSI 1992 Priangan Timur, mengatakan bahwa kedatangan mereka ke kantor bupati untuk menanyakan sikap Bupati Tasikmalaya terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Bagi Deni, kejelasan sikap bupati sangat penting, sebab juga akan berimbas pada nasib ribuan buruh di Kabupaten Tasikmalaya. Audiensi sendiri dilakukan untuk melihat kemungkinan, apakah SBSI 1992 mesti menggelar aksi atau tidak.
SBSI 1992 saat menyampaikan aspirasinya di hadapan Asda II Kabupaten Tasikmalaya, Kamis (12/3/2020). (Foto: Amra Iska)
“Tadinya kami mau menggelar aksi besar-besaran di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya. Tapi kami juga berpikir, Tasikmalaya kan kota kecil, jadi kami tetap menjaga kondusivitas. Sehingga tidak dulu turun ke jalan, tetapi melakukan audiensi. Tapi, begitulah jadinya, tidak ada respon yang baik dari Pemerintah Daerah Tasikmalaya,” ujar Deni.
Konsekuensi dari kenyataan tadi, Deni menegaskan, kemungkinan besar pihaknya akan turun ke jalan; menyuarakan penolatak terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja secara besar-besaran.
“Apa boleh buat? Secara baik-baik kita sudah lakukan, tapi kami tidak diterima. Tapi tergantung sikap DPRD juga, karena habis ini kami akan melakukan audiensi di sana,” lanjutnya.
Pemicu keresahan buruh, menurut Deni, adalah karena banyak poin-poin krusial yang dihapus dari Undang-undang No. 13 tahun 2003. Lebih-kurang sebanyak 29 pasal. Salah satunya tentang PKWT.
Tanpa PKWT, berarti kontrak kerja bisa berlangsung terus menerus, seumur hidup. Di samping itu, outsourcing juga berlangsung secara bebas.
Pasal lain yang dihapus antara lain: upah minimum kota/kabupaten, perlindungan terhadap perempuan seperti cuti haid dan melahirkan.
“Ini mengkebiri kesejahteraan buruh dan terciptanya perbudakan di era modern,” tambahnya.
Sikap SBSI 1992 yang demikian, terang Deni lebih jauh, sama sekali bukan wujud penolakan terhadap kehadiran investasi di Indonesia. Yang mereka tolak adalah penindasan terhadap buruh melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
“Yang datang bersama kami ini adalah buruh murni. Bukan bayaran, bukan panggilan. Mereka ini adalah pekerja yang akan merasakan langsung dampaknya,” tegasnya.
SBSI 1992 tidak hanya menerima respon negatif dari Bupati Tasikmalaya, melainkan juga dari DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Sejak selepas Duhur, SBSI 1992 hanya duduk-duduk di koridor kantor DPRD, karena tidak satu pun anggota DPRD yang menyambut kehadiran mereka.
“Tanggal 23 [Maret, RUU Omnibus Law Cipta Kerja dibahas di] paripurna. Sebelum tanggal 23 kita akan terus melakukan perlawanan penolakan dan kampanye tentang Omnibus Law Cipta Kerja,” pungkas Deni, memastikan.