Nalar

Sejarah Pelbagai Potret Problematika Agraria Sosial Belum Usai Ditulis

Oleh : Hilma Fanniar Rohman

Ketua Umum PC IMM Kab.Tasikmalaya

Istilah problema atau problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu “problematic” yang artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan; yang menimbulkan permasalahan. Secara etimologis, kata agraria berasal dari bahasa latin agger yang artinya sebidang tanah (bahasa inggris acre). Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti:yang ada hubungannya dengan tanah.

Saat perang dunia kedua terjadi, memaksa Belanda dan para taipan tanah untuk hengkang dari bumi Nusantara, perkebunan besar yang ada menjadi kosong karena tuan tanah pergi, dalam posisi perang seperti ini, rakyat dipaksa menanam tanaman panggan untuk kebutuhan perang. Pada zaman kemerdekaan, rakyat tetap diperbolehkan menggarap tanah yang mereka garap dengan kondisi sama seperti masa pendudukan jepang, sampai pada akhirnya rakyat diusir dari lahan garapan karena disepakatinya Konfresi Meja Bundar (KMB). KMB memerintahkan agar aset Belanda yang ada sebelumnya dikembalikan lagi kepada si tuan, sampai pada tahun 1957 Indonesia membatalkan hasil KMB.

Pada tahun 1961 dengan landasan UUPA 1960 Indonesia menjalankan land reform, namun landreform berjalan tidak mulus karena ditentang oleh kekuatan anti-reform. Pada era Soeharto kebijakan yang diambil banyak menimbulkan konflik agraria karena diterbitkannya UU Penanaman Modal Asing 1967, UU Pokok Kehutanan Dan UU Pertambangan. Watak UU Agraria kolonial 1870 hadir di periode soeharto. Di era Revormasi kekuatan yang anti-Reforma Agraria (dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekadar retorika) masih jauh lebih kuat daripada yang pro Reforma Agraria. Hal ini terbukti dari isi program berbagai partai politik termasuk partai-partai yang sementara merupakan lima besar. Memang ada beberapa partai yang mencantumkan program pembenahan agraria, tetapi tidak meletakkannya sebagai masalah sentral.

Terlepas dari sejarah agraria Indonesia, studi mengenai kemiskinan merupakan satu tema yang terus bergulir tak habis-habisnya, terutama dalam soal dinamika masyarakat pedesaan di Indonesia. Dalam kaitan tersebut, pendalaman terhadap proses pembentukan dan akumulasi surplus (modal) di level komunitas menempati posisinya tersendiri dalam mengenali reproduksi kemiskinan (marjinalisasi) masyarakat pedesaan. Pasca runtuhnya rezim otoriter orde baru, ditandai hadirnya bentuk-bentuk gerakan petani yang menuntut keadilan agraria. Munculnya ruang-ruang politik baru untuk pertarungan dan perundingan. Sebagai akibat dari pengaruh antara proses-proses kebijakan desentralisasi, proyek-proyek pengembangan masyarakat dan perbaikan lingkungan dari pemerintah dan Perhutani, maupun kerja-kerja dampingan dari organisasi non-pemerintah. Hadirnya bentuk-bentuk penguasaan sumber-sumber agraria oleh negara dan swasta dalam bentuk areal perkebunan dan kehutanan, akan beriringan dengan lepasnya akses dan kontrol (enclosure) petani terhadap lahan garapan. Hadirnya perusahaan perkebunan dan kehutanan bermodal besar (negara dan swasta) ini, telah menggeser pola-pola ekonomi skala rumah tangga petani (satuan ekonomi terkecil) di pedesaan menjadi tenaga kerja upahan lepas.

Permasalahan agraria yang terjadi hari ini adalah terjadinya tumpang tindih antara produk hukum dan kebijakan yang dikeluarkan, hal ini terjadi karena orientasi kebijakan yang berubah – ubah.
Ketidakadilan agrarian akan berlanjut dengan munculnya konflik. Tulisan ini ingin menguak misteri tata kelola, kuasa dan produksi di dalam kawasan hutan, dengan studi kasus pada kampung Sinagar dan Kajarkajar, desa Sindangasih, Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya. Wilayah kampung Sinagar dikelilingi oleh kawasan Hutan Produksi dan Produksi Terbatas yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Tasikmalaya seluas 2995 Ha, sebagai blok Tonjong dan blok Cibadodon. Masyarakat sudah turun-temurun menempati dan mengambil hasil kayu dan non-kayu dari hutan dalam penguasaan Perhutani.

Berangkat dari kejadian sehari-hari di sekitar kampung Kajarkajar, konflik ini terjadi karena 3 hal: pertama, meningkatnya kebutuhan rakyat tak bertanah akibat melonjaknya harga kebutuhan pokok setiap tahunnya di Indonesia, sementara tidak ada sumber pendapatan di desa karena tanah yang ada tidak dapat diakses. Ketika mereka migrasi ke kota, mereka hanya jadi buruh yang dibayar murah karena tidak memiliki ijazah dan keterampilan yang memadai (non-skill labour). Kedua, meningkatnya kebutuhan konsumsi domestik petani terhadap barang-barang kebutuhan pokok yang tidak dapat mereka produksi sendiri karena kondisi terpisahnya petani dari alat produksi dan relasi produksinya dalam mengelola hutan sebagai efek domino dari ditutupnya kawasan hutan dan dibatasinya akses mereka terhadap hutan. Ketiga, meningkatnya represi dalam “penjagaan” hutan terhadap petani sekitar desa hutan, dan kegagalan pemerintah daerah dan pusat dalam menegosiasikan kewenangan Perhutani sebagai
Agent of Timber Management di kawasan hutan yang ada. Persoalan kemiskinan ini bukan suatu hal yang muncul begitu saja, tentu ada sebab-sebab dalam prakondisi tertentu hingga kemiskinan muncul dan menyebar. Kantong-kantong kemiskinan di Indonesia, banyak terdapat di wilayah-wilayah dengan penguasaan sumber daya alam yang terpusat di satu pengendali, misalnya BUMN atau Swasta. Dari data Potensi Desa 2003, sebaran kemiskinan di Tasikmalaya misalnya, terpusat di sekitar hutan produksi dan hutan produksi terbatas yang dikuasai Perhutani. Argumentasi bahwa pengelolaan sumber daya skala luas akan memberikan efek kesejahteraan yang lebih banyak terhadap masyarakat di sekitar sumber daya itu, terpatahkan dengan data sekunder tersebut. Justru penguasaan skala besar yang berujung penutupan akses hutan atas masyarakat yang mengakibatkan munculnya sebaran Rumah Tangga Miskin di sekitar kawasan hutan. Di Sindangasih terdapat 2 areal besar yang dikuasai masing-masing oleh PTPN VIII Bagjanegara (Kampung Cieceng) dan Perhutani KPH Tasikmalaya (Kampung Sinagar), pada tahun 2000, terjadi gejolak, buruh-buruh perkebunan ingin mengambil alih lahan-lahan perkebunan Bagjanegara karena banyak areal perkebunan yang ditelantarkan setelah krisis moneter 1998, tanah-tanah terlantar ini kemudian dibiarkan tidak tergarap 3 tahun oleh perusahaan perkebunan, sementara rakyat di sekitar perkebunan yang sebagian besar adalah buruh-buruh perkebunan pun tidak boleh menggarap dengan leluasa, akhirnya muncul perlawanan terbuka mengokupasi.

Aksi okupasi tanah (land occupation) atau yang biasa disebut reklaiming lahan, adalah aksi yang dilakukan atas tanah-tanah yang pernah menjadi tanah garapan penduduk pada rentang waktu yang lama, tapi akibat praktik-praktik politik ekonomi yang menindas, tanah tersebut menjadi bagian dari perkebunan besar atau konsesi pemanfaatan hutan yang besar, di Indonesia bentuknya bisa berupa HPH, perkebunan swasta, Lahan perkebunan yang diorganisisr oleh Serikat Petani Pasundan (SPP).

Aksi yang terjadi di Kampung Cieceng sebagian juga diikuti oleh beberapa orang masyarakat yang dari Sinagar. Gejolak pengambilalihan lahan di Cieceng menyebar ke Sinagar, beberapakali. Bahkan, rapat-rapat untuk aksi reklaiming ini dilakukan di Sinagar, selain alasan keamanan agar tidak digrebebg oleh petugas perkebunan yang menyewa preman-preman untuk meneror para petani, juga karena ingin mendapatkan bantuan dari petani lain agar bersama membantu petani Cieceng mengambil alih lahan perkebunan yang ditelantarkan itu.
Pada tahun 2003, setelah perjuangan melelahkan yang terjadi di Cieceng, terjadi beberapa kali penyerangan preman hingga oknum polisi yang berpihak pada Perhutani. Namun, akhirnya lahan Cieceng tetap berhasil direbut petani, yang kemudian mendeklarasikan Organisasi Serikat Petani Pasundan OTL Cieceng. Sementara itu, pengalaman beberapa orang di Sinagar yang ikut berproses dalam perjuangan petani di Cieceng, menginspirasi mereka untuk melakukan hal serupa di Sinagar. Pada tahun 2004, dimulailah aksi okupasi dan reklaiming oleh petani-petani yang mendapatkan pengalaman belajar di Cieceng ini. Tahun 2004, OTL Sinagar yang kemudian dikenal dengan nama OTL Kajarkajar dideklarasikan. Hanya saja di Jawa lebih spesifik bentuknya, dapat berupa Hutan Produksi Perhutani dan PTPN.
Nama Kajarkajar itu sendri diambil dari nama lembah yang ada di Kampung Sinagar, lembah ini adalah pusat kampung, di sana terdapat pusat pemukiman, persawahan, sumber air, dan tempat melakukan pertemuan yang juga berfungsi sebagai tempat ibadah (Masjid).
Berselang 3 hari, OTL Neglasari juga dideklarasikan, pendeklarasian ini mengakibatkan berubahnya pola-pola penggarapan, penguasaan, dan produksi kawasan hutan di blok ini. Beberapa aspek legal formal yang tidak jelas. Untuk kasus Sinagar, ada ketidaksesuaian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya, dengan Peta Kuasa Perhutani yang dikeluarkan oleh Baplan tahun 2003. Selain itu, juga tidak ditemukan berita acara penetapan batas (BATB) kawasan hutan di Sindangasih oleh Perhutani, padahal BATB penting secara legal formal. Ketiadaan BATB menunjukkan hutan yang dilekatkan pada kawasan di Sindangasih tidak sah secara hukum, karena ketentuan dalam UU Kehutanan, penunjukan batas kawasan hutan harus melalui proses penentuan tata batas dan dalam penetapan BATB harus melibatkan pihak-pihak terkait yang ada di desa seperti tokoh masyarakat, pemerintah desa, dan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat.

Sementara di kalangan masyarakat juga terjadi kebimbangan tentang apakah tanah yang direklaim oleh OTL dapat ditegaskan kepemilikannya lewat hukum legal yang ada di Indonesia atau tidak, hal ini belum terjawab pasti.
Dengan fakta di atas, terjadi perpindahan masyarakat secara besar besaran di Kabupaten Tasikmalaya. Secara berbondong bondong masyarakat Kabupaten Tasikmalaya berpindah ke beberapa daerah kota di sekitar, mulai dari ke kota Tasikmalaya sampai ke kota Bandung, dengan harapan bisa memperbaiki taraf hidup ketika pindah ke kota. Tetapi faktanya, karena warga yang tadinya berprofesi sebagai petani mulai kesulitan menemukan lahan garapan dikareanakan alih fungsi lahan dan beberapa masalah lainnya. Hal tersebut menyebabkan mereka tidak memiliki keahlian yang mencukupi, ditambah lagi dengan rata-rata IPM Bidang pendidikan di kabupaten Tasikmalaya hanya sampai 8,5 Tahun belajar. Menyebabkan masyarakat yang urban ke kota terpaksa harus menerima fakta bahwa mereka sulit bertahan di kota.

Di kabupaten yang terkenal dengan julukan kota santri ini, terdapat 5.512 Tenga Kerja yang bekerja di luar negeri. Menurut data dari dinas ketenagakerjaan Jawa Barat, seharusnya warga tidak perlu bekerja jauh-jauh ke luar negeri ketika tanah yang dimiliki oleh PTPN bisa digunakan oleh masyarakat. Seperti di kaki gunung Galungung, tanah yang ada ditambang oleh pemilik modal dan masyarakat tidak mendapatkan kompensasi apapun dari tambang itu, yang didapatkan oleh masyarakat hanya debu dan kerusakan lingkungan.

Orang – orang elit di Perhutani bisa hidup dengan sejahtera, tetapi sebaliknya dengan masyarakat yang ada di sekitar daerah kekuasaan perhutani hidup dibawah kata layak, harus ada solusi dari semua problematika dan ketimpangan yang terjadi dewasa ini. Solusi yang menjadi penerang tentang pembagian lahan yang lebih berkeadilan, mengingat luasnya wilayah Gunung Galungung di kabupaten Tasikmalaya, Kementerian Kehutanan tentunya tidak menutup mata bahwa konflik sumber daya alam dan reforma agraria merupakan persoalan krusial dan sensitif yang berdimensi luas, tidak saja berkaitan dengan aspek ekonomi dan sosial, tetapi juga politik. Dalam hal ini PUSPIJAK sangat terbuka terhadap wacana persoalan-persoalan masyarakat dan bangsa yang terus berkembang. Dibandingkan dengan era sebelum reformasi, Kementerian Kehutanan telah melakukan berbagai perbaikan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan inovatif yang terkait dengan pemberian akses kepada masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Beberapa kebijakan tersebut antara lain Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa sebagaimana tersebut di atas, meskipun dalam total luas arealnya masih relatif rendah.

Perhutanan sosial sebenarnya sudah digagas sejak tahun 1980-an. Namun, secara nasional kebijakan ini mulai muncul sejak diundangkannya UU No. 41 tahun 1999, pasca reformasi dan dipertegas lagi dengan terbitnya PP No.6 tahun 2006. Pada tahun 2007, terbit Permenhut No. Permenhut 37 2007 jo P. 18 2009, P.13 2010, P52 2011 tentang Hutan Kemasyarakatan, dan Permenhut No. 49 tahun 2008 jo P.14 tahun 2010, P.53 tahun 2011 tentang Hutan Desa.
(1)Hutan Kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan (Hkm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat guna meningkatkan kesejahteraannya melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Sejak 2010 sampai dengan bulan Januari 2014, Hkm yang telah mendapatkan Pencadangan Areal Kerja (PAK) dari Menteri Kehutanan, seluas 311.487 hektar, yang akan memberikan manfaat pada 822 Gapoktan/Koperasi, yang memiliki anggota sebanyak 77.555 KK. Apabila 1 KK terdiri dari 5 jiwa, sebanyak 387.775 jiwa akan kena dampak positif dari pengembangan Hkm ini.
(2) Hutan Desa; Hutan negara yang dikelola oleh desa, tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumber daya hutan secara lestari. Sampai dengan Maret 2014, Hutan Desa yang telah mendapatkan PAK dari Menteri Kehutanan seluas 234.174 hektar, tersebar di 137 desa, akan menyerap tenaga kerja atau berdampak untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan bagi 61.885 KK atau 309.425 jiwa. Dengan demikian, kontribusi Hkm dan HD pada areal seluas 545.661 hektar yang telah mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan, dalam penyediaan peluang usaha dan berusaha (sampai dengan Maret 2014), sebesar 697.200 jiwa.

Tidak hanya problematika agraria. Bukan lagi menjadi rahasia umum, kemiskinan menjadi faktor utama semua permasalahan kehidupan. Karena, dewasa ini kehidupan dan penghidupan terukur oleh ‘seberapa banyak uang’ dan ‘seberapa bisa membeli kemajuan teknologi’. Harta menjadi tolok ukur tahta dan berkeadilan terukur seberapa tebal dompet dan semua problematika terselesaikan. Miris, tapi fakta memang pahit untuk ditelan. Studi kasus yang tak usai saat malam menjelang di sekitar jalan KHz Musthafa Tasikmalaya, anak kecil yang seharusnya duduk manis di meja belajar, mempersiapkan esok dengan seragam sekolahnya masih terjaga di trotoar tanpa rasa was-was dengan memungut sampah-sampah yang berserakan, menengadahkan tangan berharap belas kasih pengguna jalan. Mereka memikirkan bagaimana esok bisa makan, bukan bagaimana esok tugas sekolah bisa selesai. Sekaligus menjadi salah satu perhatian penting bagi pemerintah Kota Tasikmalaya dalam meratakan pendidikan. Setiap anak berhak untuk mengenyam pendidikan, dan setiap anak berhak menjemput senyum mereka kali pagi menjelang untuk pergi ke sekolah bukan ke jalanan. Menumbuhkan dengan mengobati ‘akar’ akan lebih cepat daripa menumbuhkan dengan menutupi ‘bagian’ yang terluka.

Dengan solusi di atas, sedikitnya bisa mengatasi masalah yang terjadi di Kabupaten Tasikamalaya termasuk masalah para petani yang sulit mendapatkan lahan garapan, dan bisa mengatasi permasalahan agraria secara khusus serta perekonomian pada umumnya. Dengan pengimplementasian yang baik, tidak akan ada lagi atau minimal berkurangnya jumlah buruh tani yang kesulitan lahan garapan yang akan berimplikasi pada kesejahteraan sosial yang meningkat di Kabupaten Tasikmalaya. Tidak akan terdengar lagi berita rakyat yang tidak bisa mengakses kesehatan, pendidikan rendah dan sulitnya mendapatkan sumber ekonomi.

Daftar Pustaka

Anonim. 2013. Pengertian Problematika. [Online]. Tersedia: http://infogurudankepalasekolah.blogspot.com/2013/04/pengertian-problematika-defisimenurut. [11 September 2018].

Anonim. 2018. Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya. [Onilne]. Tersedia: https://dikbud.tasikmalayakab.go.id/. [11 September 2018]
Laksmi dkk. 2010. Memahamidan Menemukan Jalan Keluar Dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

Wirandi, Gunawan. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria Reforma Agraria dan Penelitian Agrari.Yogyakarta: STPN Press dan Sajogyo Institute.

Wirandi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir. 2009. Bogor: Sajogyo Insitute Akatiga dan konsorsium Pembaruan Agraria.

Wiratno (Direktur Bina Perhutanan Sosial). 2004. Hutan Untuk Rakyat Jalan Terjal Reforma Agraria Di Sektor Kehutanan. Yogyakarta: LKIS.

Citizen Journalism

Komentari

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tren

Laman ini didedikasikan untuk warga net mengedepankan kedekatan. Terbuka untuk terlibat menuangkan gagasan ke dalam tulisan dan mewartakan aktivitas lapangan sejalan dengan kaidah jurnalistik.

SIlakan bergabung.

Kontak kami

Alamat: Jl. Kalawagar Singaparna Tasikmalaya
Telefon: (+62) 01234-5678
Email: redaksi@tasikmu.com

Copyright © 2019 TASIKMU | MVP | powered by Wordpress.

Ke Atas